Oleh Ustadz Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
SEKIRANYA sejarah berjalan lurus, maka problematika masa depan Indonesia tergantung sejauhmana bangsa Indonesia komitmen terhadap UUD 1945 dan Islam. Selama 68 tahun Indonesia merdeka dan enam kali ganti Presiden, terbukti tidak adanya komitmen terhadap dasar negara dan UUD ’45. Mayoritas rakyat Muslim seakan menelantarkan nasib negeri ini, dikendalikan orang-orang yang anti agama.
Secara konstitusional, dinyatakan bahwa kemerdekaan negeri ini diraih atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa. Pada alinea ketiga Preambule UUD 1945 tegas disebutkan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerde-kaannya.”
Jadi, negara RI lahir dan merdeka atas berkat rahmat Allah, bukan atas berkat demokrasi, nasionalisme, sekulerisme, liberalisme, dan komunisme. Juga bukan berkat kolonialisme, imprialisme ataupun fasisme. Pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia semata-mata atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa, membuktikan satu fakta bahwa para ulama dan mujahid pejuang kemerdekaan mempersiapkan negeri ini sebagai basis kekuasaan Islam menggantikan penjajah kolonial.
Oleh karena itu pula dasar negara Indonesia, yaitu “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Sekalipun sejarah kemudian mencatat, dasar negara dalam Piagam Jakarta itu diperas menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tercantum dalam UUD ’45 ps 29 ayat 1, tetap saja tidak menghilangkan eksistensi negara RI sebagai negara berlandaskan Tauhid dengan mayoritas terbesar penduduk Muslim.
Artinya, di negara yang berdasarkan Ketuhanan YME tidak boleh ada UU dan aturan hokum yang bertentangan dengan ajaran Tuhan.
Dari perspektif konstitusi, negara RI sejatinya berdiri di atas landasan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga pelaksanaan Syari’at Islam, seperti tersebut dalam Piagam Jakarta merupakan amanah UUD ’45. Namun sayang sekali, rakyat Muslim justru menelantarkan nasib negeri ini, bahkan menggratiskannya bagi kepentingan yang bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai negeri yang berdaulat, adil dan makmur.
Faktanya, Syari’at Islam belum diterima sebagai hukum positif maupun sistem bernegara. Disinilah problematikanya dan yang menyebabkan begitu banyak penyimpangan politik, ideologi dan kekuasaan.
Syari’at Islam dan institusi negara
Syari’at Islam merupakan sistem hidup yang sempurna, benar dan adil. Jaminan atas kesempurnaan itu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (115) [الأنعام/115]
“Syari’at Tuhanmu telah sempurna, dan seluruh Syari’at Tuhanmu benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah Syari’at Tuhanmu yang benar dan adil itu. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (Qs. Al-An’am, 6:115)
Sebagai konsekuensi dari keyakinan atas kesempurnaan Islam, maka dalam hal-hal yang bersifat prinsip seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah, umat Islam tidak memerlukan nasihat dari agama lain. Dalam segala urusan umat Islam tidak perlu meminta petunjuk demokrasi, baik dalam mengurus negara, keluarga dan masyarakat. Al-Qur’an telah menasihatkan:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ (116) [الأنعام/116]
“Wahai Muhammad, jika kamu menuruti kemauan sebagian besar manusia di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari agama Allah. Karena sebagian besar manusia hanya mengikuti angan-angan yang dibisikkan oleh hawa nafsu mereka, dan mereka hanyalah mengikuti slogan-slogan kosong.” (Qs. Al-An’am, 6:116)
Berbeda dengan kebanyakan orang Islam di zaman sekarang, ideologi jahiliyah seperti demokrasi, membelenggu pikiran dan amaliyahnya. Mereka yang anti demokrasi, menolak segala hal jika diperkirakan ada kaitannya dengan demokrasi, seperti Pemilu dalam memilih presiden, voting dan musyawarah. Sebaliknya para pendukung demokrasi, menolak atau menerima sesuatu parameternya, apakah sesuai dengan demokrasi atau tidak.
Adalah fakta, betapa banyak dari tokoh-tokoh Islam mislanya, baru diundang sekali ke Iran, pulang ke Indonesia berubah jadi pendukung Syi’ah. Kuliah di Amerika, mendapat gelar Doktor, pulang ke Indonesia menjadi pembela dan pejuang demokrasi. Tetapi yang lebih mengherankan, kuliah beberapa tahun di Mesir, Madinah, Makkah, Sudan, pulang dengan gelar Doktor, M.A., Lc., semestinya menjadi pemikir dan Duta Islam; tapi malah menentang berlakunya Syari’at Islam dengan alasan ideologi transnasional.
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjadikan ideologi jahiliyah sebagai agenda pembicaraan dalam dakwah beliau. Sekalipun pemikir demokrasi seperti Aristoteles, hidup jauh sebelum Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus sebagai Nabi dan Rasul, beliau tidak pernah menyibukkan diri dengan pembicaraan tentang demokrasi. Karena semua yang bertentangan dengan Syari’at Islam adalah bathil. Tetapi sejak awal dakwahnya, beliau mempersiapkan kader militan sebagai pemimpin masa depan, yang memiliki komitmen dan loyalitas kepada Islam. Termasuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk membangun negara, untuk menggantikan dominasi imperium Romawi maupun Persia.
-oOo-
Bandingkan dengan umat Islam di Indonesia dewasa ini. Ketika umat Islam tidak mau menggunakan institusi negara untuk melaksanakan Syari’at Islam, dengan alasan bahwa Indonesia bukan negara Islam, tidak ada perintah mendirikan negara dalam Al-Qur’an dan alasan lain yang senada dengan itu. Maka orang kafir yang menyalahgunakan negara RI untuk kepentingan misi kuffar, yaitu mengganti Syari’at Islam dengan syari’at jahiliyah. Sebab orang kafir juga berkepentingan untuk melestarikan eksistensi kekafirannya seperti diinformasikan dalam Al-Qur’an:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (12) [العنكبوت/12]
“Orang-orang kafir berkata kepada orang-orang mukmin: “Ikutilah cara hidup kami. Kami akan menanggung segala dosa kalian selama kalian mengikuti kami.”Padahal sebenarnya orang-orang kafir itu tidak sediktipun sanggup menanggung dosa-dosa mereka sendiri. Sungguh orang-orang kafir itu berdusta.” (Qs. Al-Ankabut, 29:12)
Orang-orang kafir komitmen dengan misi kekafirannya, sedang orang Islam melepaskan ikatan agamanya dalam urusan negara. Pada masa kampanye sekarang ini beredar opini dan berbagai rekayasa dusta dari Tim sukses Jokowi-Kalla. Mereka semakin berani dan berterus terang menolak syari’at Islam.
Ketua tim hukum pemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), Trimedya Panjaitan, mengatakan pemerintahan Jokowi-JK tidak akan membiarkan munculnya peraturan daerah (perda) baru yang berlandaskan syari’at Islam.
“Yang jelas kami tidak mendukung perda yang bersifat syari’at,” kata Trimedya kepada wartawan di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (4/6).
Trimedya menyatakan perda syari’at Islam tidak sejalan dengan ideologi yang dianut PDI Perjuangan. Selain itu, syari’at Islam juga bertentangan dengan UUD 1945. “Ideologi PDIP Pancasila 1 Juni 1945. Pancasila sebagai sumber hukum sudah final,” ujar Ketua DPP Bidang Hukum PDIP ini.
Perda syari’at Islam dinilai bakal menciptakan pengkotak-kotakan tatanan sosial di masyarakat. Ujung-ujungnya, Perda syari’at Islam dianggap bakal mengganggu kemajemukan NKRI yang berlandaskan Bhinneka Tunggal Ika. “Ke depan kami berharap perda syari’at Islam tidak ada. Ini bisa mengganggu kemajemukan karena menciptakan pengotak-ngotakan masyarakat,” kata anggota Komisi III DPR ini. (Republika, 5 Juni 2014)
Padahal sudah 68 tahun Indonesia merdeka dengan menolak Syari’at Islam di lembaga negara. Apakah yang terjadi kemudian, ketika orang-orang kafir mendominasi kekuasaan negara, sementara orang Islam hanya sibuk mengurus ormas, dan terus berdebat bahwa tidak ada negara Islam dalam Al-Qur’an, apakah Indonesia negara Thaghut atau bukan? Segala bentuk kerusakan moral, dan berbagai bentuk kedurhakaan merajalela.
Firman Allah Ta’ala:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ بَدَّلُوا نِعْمَةَ اللهِ كُفْرًا وَأَحَلُّوا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِ (28) جَهَنَّمَ يَصْلَوْنَهَا وَبِئْسَ الْقَرَارُ (29) [إبراهيم/28، 29]
“Wahai Muhammad, apakah kamu tidak melihat orang-orang yang menukar keimanan kepada Allah dengan kekafiran dan membuka jalan kehancuran bagi kaum mereka. Jahannamlah tempat yang akan mereka masuki di akhirat, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat tinggal.” (Qs. Ibrahim, 14:28-29)
Ketika sistem dan pola hidup berbangsa dan bernegara diatur serta didominasi sistem hidup jahiliyah, maka bukan saja pola hidup serta sistem hidup Islam termarjinalkan. Tapi yang paling tragis, mencari seorang pemimpin negara yang memiliki komitmen dan loyalitas (keterikatan dan patuh) pada Islam ditengah-tengah mayoritas rakyat Muslim, betapa sulitnya, bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Apalagi mencari pemimpin negara seperti disebutkan dalam Al-Qur’an:
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ (73) [الأنبياء/73]
“Dan Kami jadikan masing-masing mereka sebagai pemimpin yang memeberikan petunjuk pada manusia dengan izin Kami. Kami perintahkan kepada mereka melakukan amal shalih, menedakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Mereka semua senantiasa taat kepada Allah.” (Qs. Al-Anbiya, 21:73). Jauh lebih sulit lagi.
Selama ini, umat Islam tidak pernah mempersiapkan lahirnya figur pemimpin yang berkomitmen pada Islam. Setiap diadakan Pilpres lima tahun sekali kita hanya disodori figur presiden oleh Parpol tanpa bisa menolak. Maksimal yang bisa dilakukan oleh MUI adalah membuat kriteria pemimpin yang mustahil dapat dipenuhi. Dan terpaksa atau sukarela umat Islam menerima saja, sambil mengidentifikasi manakah diantara figur yang punya kedekatan dengan umat Islam, atau setidaknya diklaim pernah menjadi anggota ormas Islam di masa lalunya.
Sekarang juga begitu, umat Islam mulai mendekat kepada figur capres 2014 yang kakek buyutnya diklaim keturunan Pangeran Diponegoro. Baru sekadar itu yang bisa dilakukan umat Islam, daripada memilih capres yang diprediksi lebih dekat hubungannya dengan Zionis atau komunis Cina.
Dalam rentang sejarah yang panjang, selalu ada perkecualian. Yaitu, munculnya pemimpin negara yang memiliki komitmen pada Islam, walaupun dia bukan ulama atau tokoh Islam. Seperti PM Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang hendak membuka kembali fungsi Masjid Aya Sofia (Masjid Biru) setelah 79 tahun sejak, kala Mustafa Kemal Atatürk mengubah status Masjid menjadi museum pada tahun 1937. Begitupun Presiden Republik Chechnya Ramzan Kadyrov, dan PM Brunai Darussalam, Jenderal Haji Seri Hassanal Bolkiah Mu’izzaddin Waddaulah. Baru ketiga kepala negara itulah yang menunjukkan komitmennya pada Islam melalui lembaga negara secara terus terang.
Kapankah umat Islam bangsa Indonesia memiliki Presiden yang bersedia melaksanakan Syari’at Islam? Sementara nasib umat Islam di Cina, Afrika Tengah, Thailand dan sekarang di Anggola, sungguh tragis. Para penguasa kafir menggunakan otoritas kekuasaan negara untuk menolak Syari’at Islam, sebaliknya umat Islam malah menolak berlakunya Syari’at Islam di lembaga negara. Marilah kita tadabbur bersama firman Allah ini:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ (16) [الحديد/16]
“Wahai Muhammad, apakah belum datang saatnya bagi orang-orang mukmin, hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah dan mematuhi Al-Qur’an. Orang-orang mukmin jangan mengikuti jejak kaum Yahudi dan Nasrani yang diberi Taurat dan Injil sebelumnya, kemudian mereka merubah isinya. Kaum Yahudi dan Nasrani telah melalui masa yang panjang, mereka banyak berbuat dosa sehingga hatinya menjadi keras. Sebagian besar dari umat Yahudi dan Nasrani menjadi orang yang menyimpang dari Taurat dan Injil.” (Qs. Al-Hadid, 57:16)
Wallahu’alam bish shawab…