28.4 C
Jakarta
Sabtu, 25 Januari 2025

Surat Terbuka Majelis Mujahidin Presiden Baru Harapan Baru Menuju Baldah Thayyibah Menyongsong Indonesia Emas 2045

Surat Terbuka Majelis Mujahidin
Presiden Baru Harapan Baru Menuju Baldah Thayyibah
Menyongsong Indonesia Emas 2045

Kepada Yth.
Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo Subianto
Presiden Republik Indonesia

Di Jakarta

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala ungkapan puji dan syukur hanyalah berhak ditujukan kepada Allah, Pengatur dan Penguasa alam semesta. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah memberikan pedoman beserta contoh tauladan, bagaimana membangun pola hidup yang benar dan berfaedah di dunia ini, baik dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Menyambut pemerintahan baru hasil Pilpres dan Pilkada serentak 2024, disadari atau tidak menyisakan persoalan turbulensi dan anomali kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun diwarnai dengan gugatan hasil Pilpres yang memberikan banyak catatan penting bagi rakyat dan pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu yang lebih baik, lebih bermartabat, yang dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan kepuasan masyarakat pemilih. Bangsa Indonesia akhirnya memiliki pemimpin baru Jenderal TNI (Purn) H. Prabowo Subianto sebagai Presiden yang sah hasil pilihan rakyat. Pembentukan Kabinet Merah Putih telah mendapatkan pembekalan dan pelatihan sebelumnya, diharapkan dapat mempersatukan semua potensi keunggulan dan kebaikan anak bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote di bawah sang saka Merah Putih mengingatkan kepada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang merdeka atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.

Usai pelantikan Presiden RI ke-8 di hadapan Sidang Paripurna MPR RI, di Gedung Nusantara MPR-DPR-DPD RI, Senayan, Jakarta, pada hari Minggu 20 Oktober 2024 pagi. Dalam pidato perdananya, Prabowo bersumpah untuk memimpin Indonesia dengan penuh tanggung jawab, berbakti kepada negara dan bangsa, serta mengutamakan kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

“Saudara-saudara, beberapa saat yang lalu di hadapan majelis yang terhormat ini, di hadapan seluruh rakyat Indonesia, dan yang terpenting di hadapan Tuhan yang Maha Esa Allah subhanahu wa ta’ala, saya Prabowo Subianto dan saudara Gibran Rakabuming Raka telah mengucapkan sumpah untuk mempertahankan UUD kita, untuk menjalankan semua UU dan peraturan yang berlaku untuk berbakti pada negara dan bangsa. Sumpah tersebut akan kami jalankan dengan sebaik-baiknya.”

Sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya ditandai dengan pembelotan konstitusi, falsafah negara Pancasila dan UUD 1945. Sejak pemerintahan petugas partai dengan visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Mengarus utamakan Pancasila 1 Juni 1945 yang diperas-peras menjadi Ekasila (Gotong royong). Sebagai ideologi penuntun, penggerak, pemersatu perjuangan dan bintang pengarah yang meletakkan dasar dan sekaligus memberikan arah dalam membangun jiwa bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan, martabat dan kebanggaan sebagai sebuah bangsa. (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019)

Akibatnya, salah kaprah pengamalan pancasila yang dipahami sebagai intisari dari Pancasila 1 Juni 1945, menyebabkan etika kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kemunduran, yang pada gilirannya mengundang krisis multidimensi. Ironisnya, salah paham Pancasila ini telah mendegradasi, memarginalkan bahkan mendiskreditkan ajaran agama. Seakan-akan kemunduran, intoleransi, radikalisme dan terorisme yang terjadi di dalam negeri bersumber dari agama. Presiden memanfaatkan hak prerogatif semaunya sendiri dalam mengelola pemerintahan dan memanipulasi peraturan perundang-undangan.

Implikasi sosial-politiknya, terutama di masa-masa akhir kekuasaan Presiden Jokowi, Indonesia dilanda dekadensi moral yang sangat parah. Sejak dikeluarkannya UU Ciptaker No. 11 Tahun 2020 yang kontroversial dan ditetapkan inkonstitusional oleh MK diberi waktu dua tahun untuk memperbaikinya. Berakhir dengan penerbitan Perppu Ciptaker No. 2 tahun 2022 yang disahkan menjadi UU Ciptaker Nomor 6 Tahun 2023 sesuai subyektfitas presiden. Terbitnya PP No. 28 Tahun 2024 mengenai kesehatan, yaitu legalisasi aborsi bagi korban pemerkosaan, dan penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja, telah menambah kerusakan moral di atas kerusakan yang sudah ada. Merajalelanya prostitusi dan judi online, minuman keras, narkoba dan perzinahan di kalangan remaja, mahasiswa, bahkan LGBT yang melanda lembaga pendidikan, termasuk pesantren, sungguh meresahkan masyarakat.

Menyimak pidato Presiden Prabowo, yang disarikan dari laman publikasi Kementerian Sekretariat Negara RI, mantan Danjen Kopassus itu menyampaikan dua hal penting:

Pertama, bertekad merawat demokrasi, yang berarti menjaga dan memperkuat sistem pemerintahan yang demokratis, di mana hak-hak rakyat dihormati, termasuk kebebasan berpendapat dan berpartisipasi dalam proses politik.

“Kita menghendaki kehidupan demokrasi. Tapi marilah kita sadar bahwa demokrasi kita harus demokrasi yang khas untuk Indonesia, yang cocok untuk bangsa kita, demokrasi yang berasal dari sejarah dan budaya kita. Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang. Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, adu domba, hasut menghasut. Harus yang sejuk, demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan.”

Kedua, membangun bangsa menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Negara Kesejahteraan (welfare state) sesuai dengan konstitusi NKRI.

“Hanya dengan persatuan dan kerja sama kita akan mencapai cita-cita para leluhur bangsa yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo, bangsa yang baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Bangsa yang di mana rakyat cukup sandang, pangan, papan. Cita-cita kita adalah melihat wong cilik iso gemuyu, wong cilik bisa senyum, bisa tertawa,” ucap Presiden Prabowo Subianto dengan nada retoris.

BALDAH THAYYIBAH

Narasi Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang keluar dari lisan Presiden RI ke-8 ini, dalam sebuah pidato politik resmi kenegaraan. Narasi religius yang disitir Presiden Prabowo Subianto dalam pidato pelantikannya, merupakan frasa dari Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “Negeri yang baik dan Tuhan yang Maha Pengampun.” Frasa ini merujuk firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang terdapat pada potongan akhir ayat Al-Qur’an Surat Saba’ ayat 15:

“…Diperintahkan kepada kaum Saba’: “Makanlah sebagian rezeki dari Tuhan kalian. Taatlah kalian kepada Allah. Negeri kalian adalah sebuah negeri yang makmur. Tuhan kalian adalah Tuhan yang Maha Pengampun.” (Qs. Saba’ 34:15)

Ayat ini menggambarkan sebuah negara yang baik, aman, sentosa, makmur dan murah rezeki. Masyarakat yang taat kepada Allah, sehingga mendapat ampunan dan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa. Ini bisa dipahami sebagai visi atau cita-cita untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan berkeadilan.

Dalam khazanah sejarah politik kekuasaan di Indonesia, Partai Masyumi, juga mengusung konsep Baldah Thayyibahini. Sayangnya, partai ini tidak bertahan lama akibat konflik politik di bawah rezim demokrasi terpimpin saat itu.

Sebuah makalah berjudul: “Membangun Baldah Thayyibah yang Bebas dari Kemiskinan dan Kejahatan Sosial,” karya Amir Majelis Mujahidin Al-Ustadz Drs. Muhammad Thalib, menyatakan bahwa Konsep membangun Baldah Thayyibah terdiri dari tiga pilar yaitu individu (pribadi) shalih/shalihah, keluarga sakinah, dan masyarakat marhamah yang akan mewujudkan pemimpin amanah:

  1. Individu Shalih/Shalihah: Ini merujuk pada pribadi yang memiliki akhlak mulia, berintegritas, dan taat menjalankan ajaran agama dengan benar. Sebagai anggota masyarakat marhamah dan calon pemimpin amanah, pribadi shalih harus disiapkan melalui pendidikan yang baik dan benar.
  2. Keluarga Sakinah: Keluarga yang harmonis, penuh kasih sayang, dan saling mendukung. Keluarga adalah unit terkecil masyarakat, apabila keluarga kuat, solid, dan harmonis, akan memberikan dampak positif pada masyarakat secara keseluruhan. Untuk membangun ketahanan masyarakat dimulai dari ketahanan keluarga.
  3. Masyarakat Marhamah: Komunitas yang penuh kasih sayang, tolong-menolong, dan peduli terhadap sesama warga negara. Dalam masyarakat seperti ini, nilai-nilai keadilan, persatuan, kebersamaan dan kesetaraan sangat dijunjung tinggi yang dapat menjadi persemaian pemimpin yang amanah dan berintegritas.

Apabila unsur dan komponen tiga pilar itu terpenuhi, diharapkan akan terwujud negara yang ideal seperti yang digambarkan dalam konsep “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.” Namun Konsep Baldah Thayyibah, atau konsep masyarakat ideal ini, tidak mungkin berjalan efektif dan berdaya guna tanpa didukung oleh berbagai aspek, antara lain:

  1. Politik Akhlaqul Karimah: Sistem politik yang dijalankan dengan integritas, kejujuran, dan sesuai dengan nilai-nilai moral. Akhlakul karimah dalam politik memastikan kebijakan yang diambil berpihak pada kepentingan rakyat dan menjaga keadilan.
  2. Ekonomi Penuh Berkah: Sistem ekonomi yang adil, seimbang, dan memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat berbasis keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan keadilan sosial bagi oligarki ataupun golongan elite tertentu. Ekonomi yang berkah adalah ekonomi yang menjauhkan segala yang haram dan non ribawi, yang dijalankan dengan cara-cara yang etis dan sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
  3. Interaksi Sosial Marhamah: Hubungan antarwarga yang harmonis, saling menghormati, dan gotong-royong, berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Interaksi sosial yang baik akan menciptakan masyarakat yang solid dan bersatu sesuai asas Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa berbeda tidak berarti bermusuhan. Bersatu dalam perbedaan menuju peradaban mulia.

Dengan dukungan ketiga aspek ini, diharapkan tercipta negeri yang damai, adil, makmur, sejahtera, dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, terhindar dari konflik sosial berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Akan tetapi patut dipertanyakan, apakah pernyataan Presiden Prabowo tentang Baldah Thayyibah ini serius ataukah hanya retorika, sekadar jargon politik pencitraan? Kita semua berharap dan berdoa semoga tulus sebagai pemimpin bangsa. Rakyat Indonesia akan memantau, apakah Presiden Prabowo berkomitmen dengan sumpah jabatannya dan konsisten untuk memenuhi janji politik yang ingin merawat demokrasi dan membangun Baldah Thayyibah?

Sumpah jabatan adalah janji setia yang wajib ditepati. Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa tidak menepati janji seorang muslim, niscaya ia mendapat laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan tebusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

HARAPAN BARU

Sejarah mengabarkan, Khalifah Umar bin Khatthab adalah sosok pemimpin yang berhasil membangun dan meletakkan dasar-dasar ekonomi yang kokoh berbasis iman dan Tauhid kepada Allah. Khalifah yang bergelar Al-Faruq, orang yang mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, sangat terkenal dengan pengawasan melekat terhadap rakyatnya. Ketegasannya terhadap orang-orang yang melakukan penyimpangan, khususnya apabila pelaku penyimpangan itu adalah orang yang bertanggung jawab terhadap kepentingan publik, seperti kepala daerah, hakim, polisi, dan pemungut pajak/zakat, sangat inspiratif.

Umar bin Khatthab pernah mengatakan, bahwa kerusakan sistem pemerintahan dan dikuasainya berbagai urusan oleh orang-orang rakus, fasik alias durhaka merupakan sebab kehancuran pilar-pilar negara.

“Suatu negeri akan hancur meskipun makmur,” kata beliau. Ada yang bertanya, “Bagaimana suatu negeri akan hancur sedangkan dia makmur?” “Jika para pengkhianat menjadi petinggi negara, ekonomi dan keuangan negara dikuasai oleh orang-orang fasik (serakah),” tegas Umar bin Khatthab.

Dalam kaitan ini, kita menyaksikan terdapat paradoks dalam Kabinet Merah Putih rezim Prabowo – Gibran. Di satu sisi, dalam 10 tahun terakhir, bangsa Indonesia diamuk oleh berbagai problem hampir dalam segala strata: sosial, moral, politik, ekonomi, juga hukum. Sementara masyarakat terpuruk dalam mentalitas spekulatif, terbiasa jadi konsumen pinjol (pinjaman online), penadah bansos (bantuan sosial) dan penikmat judol (judi online)

Disisi lain, kabinet Merah Putih diidentifikasi sebagai “Kabinet Residivis,” karena 18 menteri warisan kabinet Indonesia Maju masih dipertahankan. Secara spesifik, ditengarai terdapat 5 dari 7 Menko dijabat sosok bermasalah, tersandera kasus korupsi warisan kabinet Indonesia Maju, masih dipertahankan di kabinet Merah Putih Prabowo? Bahkan disinyalir di antara Menteri dan wakil Menteri ada yang menjadi backing mafia judi online.

Dengan track record kepemimpinan nasional yang buruk seperti ini, tanpa adanya evaluasi dan koreksi oleh Presiden yang baru, maka harapan Indonesia menjadi Baldah Thayyibah, negara yang adil dan beradab, niscaya sulit diwujudkan. Sangat memalukan, tentu saja, apabila di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, predikat bangsa pengecut, sebagaimana dikesankan Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid, benar adanya. “Bangsa ini pengecut, tidak berani menghukum yang salah,” kata Gusdur.

Belum cukupkah nasib derita menimpa bangsa Indonesia, selama 10 tahun kekuasaan sebelumnya? Apakah Indonesia Paradoks, seperti kritik Presiden Prabowo sendiri dalam bukunya Paradoks Indonesia: “Negeri kaya raya, tapi rakyatnya menderita,” akan dibiarkan terus menimpa negeri ini?

Harapan kita, Indonesia ke depan di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menjadi Baldah Thayyibah yang demokratis, seperti disebutkan dalam pidato pelantikannya. Bukan Indonesia paradoks, dimana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia berubah menjadi keadilan sosial hanya bagi oligarki dan golongan elite tertentu.

“Kamilah yang menghidupkan yang mati. Kamilah yang mencatat setiap perbuatan yang telah dilakukan oleh manusia dan pengaruh baik atau buruk dari perbuatan itu sepeninggalnya. Semuanya itu Kami catat dengan teliti pada buku catatan amal yang mudah dibaca oleh pelakunya kelak di akhirat.” (QS. Yasin 36: 12)

Lugas dan tegas, ayat ini menyatakan, bahwa setiap orang bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan dan perkataan yang telah diucapkan. Pahala dan siksa yang akan diterimanya sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya. Pengaruh baik maupun buruk atas perbuatan maupun ucapannya terhadap rakyat akan menjadi beban dan tanggung jawabnya di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebagai Presiden yang memimpin 280 juta rakyat harus menjaga ucapan, tindakan dan kebijakannya karena berpengaruh kepada seluruh rakyat. Bila ternyata pengaruh yang melekat pada rakyat adalah perilaku yang jelek, berdosa dan menyalahi konstitusi maupun kitab suci, maka dosa 280 juta rakyat Indonesia, ditambah dosa pribadi dan para pejabat negara, niscaya akan menjadi tanggung jawab Presiden dan Wakil Presiden. Wallahu a’lam bish shawab.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 26 Jumadal Ula 1446 H/28 November 2024 M

Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin

DOWNLOAD
Surat Terbuka Majelis Mujahidin untuk Presiden

Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.