Oleh: Ust. Irfan S Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Badai kemarahan rakyat Tunisia, mencapai puncaknya pada demonstrasi anti pemerintah, 14 Januari 2011, dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Zaenal Abidin Bin Ali (74). Selama 22 tahun berkuasa, sejak menggulingkan kekuasaan Habib Bourguiba melalui kudeta berdarah, 1990, Bin Ali menjalankan kekuasaannya dengan kejam dan otoriter.
Selain gemar menindas rakyatnya, pemicu utama kemarahan rakyat Tunisia pada diktator sekutu Amerika Serikat itu, adalah merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga kemiskinan dan pengangguran kian mendera kehidupan rakyat di tepian pesisir Laut Tengah itu. Harga pangan meroket, rezim penguasa suka berbohong serta hukum yang tidak memihak pada rakyat.
Tumbangnya kekuasan Zaenal Abidin Bin Ali, ternyata tidak hanya berarti pergantian rezim, tapi juga berhasil menebar rasa takut pada diktator sekutu Amerika Serikat lainnya yang bertebaran di Timur Tengah dan Afrika. Selain itu, peralihan kekuasaan melalui people power, telah mengilhami keberanian rakyat di negara jirannya, seperti Mesir, Aljazair, Libya, Yaman dan Jordania. Lima negara yang sangat rentan terhadap protes rakyatnya karena kezalimannya.
Negara tetangga Tunisia, Aljazair, sudah mulai mendidih. Walau belum sampai menuntut mundur Presiden Abdul Aziz Bouteflika, rakyat Aljazair juga marah atas inflasi yang tinggi dan tingkat pengangguran yang melonjak. Demonstrasi di Aljazair berlangsung sejak Selasa, 4 Januari 2011, di pinggiran Ibu kota Aljir, yang berkembang menjadi kerusuhan. Kerusuhan meluas ke distrik Babul Oued di pusat kota Aljier, dan dalam sekejap menjalar ke 24 kota.
Para pemuda di negeri itu mengaku, eksistensi mereka telah lama tak dihiraukan oleh pemerintah. “Kami muak diabaikan terus. Kami muak diperlakukan seperti marmut. Kami katakan ini kepada pemerintah: kalian tidak berbuat apa-apa kepada kami, kami tidak mengakui kalian lagi!” teriak mereka dalam unjuk rasa di Bab El Oued.
Pada 25 Januari 2011, negeri Piramid Mesir bergolak. Gelombang demonstrasi menuntut diktator Husni Mubarak yang berkuasa menggantikan Anwar Sadat yang mati terbunuh di ujung senjata Ismail Islambuli, 6 Oktober 1981, berhasil menumbangkan rezim Fir’aun itu. “Irhal Mubarak’, minggat kamu Mubarak, teriakan demonstran di Tahrir Squer itu pun terwujud yang dikenal dengan ‘Jum’at fatah’, pada Jum’at 11 Februari 2011.
Menyusul kemudian demonstrasi anti pemerintah di Yaman dan Yordania. Raja Jordania, Abdullah II, merupakan salah satu sekutu utama Amerika Serikat di kawasan dan menjadi “makelar perdamaian” antara Otorita Ramallah di Palestina dan rezim Zionis Israel.
Situasi Indonesia
Bagaimana dengan situasi dan kondisi di Indonesia? Banyak komentator politik dalam negeri yang memprediksi, gejolak yang saat ini sedang melanda Mesir dan Tunisia tidak cuma menjadi isu regional Timur Tengah. Bukan mustahil, akan melanda Indonesia, karena, pemicu demonstrasi dan frustasi sosial tersebut juga punya potensi di Indonesia. Yaitu, korupsi, meningkatnya kemiskinan dan pengangguran atau gejolak pangan.
Gelombang anti pemerintah, mulai mengalir deras dari berbagai kalangan. Sejumlah ‘Tokoh Lintas Agama, Senin 10 Januari 2011, menyerukan supaya pemerintah SBY menghentikan segala bentuk kebohongan publik yang melukai nurani keadilan masyarakat. Kaum agamawan tersebut mencoba berterus terang, mengoreksi kegagalan pemerintah memberantas korupsi, mengatasi kemiskinan, menghentikan pelanggaran hukum dan HAM. Dan jangan hanya mengedepankan pencitraan dan bersikap berpura-pura, terutama dalam upaya penegakan hukum dan HAM. Berdasarkan itu semua, kaum agamawan menyerukan tahun 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan.
“Bagi kami, sejumlah kenyataan di atas adalah bentuk pengingkaran terhadap UUD 45. Kita harus mendesak pemerintah untuk segera mengakhiri pengingkaran itu. Jika pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, berarti pemerintah melakukan kebohongan publik,” katanya dalam deklarasi yang dibacakan di kantor PP Muhammadiyah Jakarta.
M menghadapi kritik rakyat, segala retorika apologis yang dikemukakan penguasa, tampaknya selalu disikapi dengan rasa muak dan sumpah serapah masyarakat. Sinisme masyarakat, menurut para pengamat disebabkan, rezim penguasa suka berbohong, plin-plan, berlagak dan pura-pura. Karena itu, mereka sepakat menjadikan tahun 2011 sebagai tahun perlawanan terhadap kebohongan. Ini semakin membuktikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II pimpinan SBY dinilai berbohong kepada publik, karena suka menyodorkan fakta yang tidak sesuai realita.
Oleh karena itu, seluruh elemen pelajar, mahasiswa, dan pemuda diminta semakin merapatkan barisan untuk menyetop rezim pembohong dan segera mewujudkan tujuh cita-cita perubahan. Mereka telah mengkhianati rakyat dengan berkali-kali melakukan pembohongan. Pemerintah telah berkhianat dengan mengatakan Indonesia sejahtera sementara sesungguhnya rakyat menderita.
Gaji Presiden
Sepuluh tahun masa reformasi, seolah-olah Indonesia ditakdirkan bernasib sial, nista dan binasa. Bukan saja karena pemerintah tidak efektif memberantas korupsi, menyuburkan/ menghentikan praktik mafia hukum, mafia pajak, dan mafia pengadilan. Kondisi rakyat Indonesia sudah sampai pada tarap frustrasi sosial. Semakin lama rezim SBY berkuasa, dirasakan ancaman kemiskinan, dekadensi moral, kriminalitas, dan tentu saja korupsi, semakin keras mendera kehidupan rakyat Indonesia.
Orientasi kebijakan pemerintah, justru hendak melestarikan fir’aunisme, suatu gaya kepemimpinan yang semakin menjauh dari pertolongan Allah. Dalam praktik kekuasaan modern, karakteristik fir’aunisme adalah bersikap apriori terhadap kritik dan sorotan rakyatnya. Ideologi fir’aun, pantang diduakan dalam kekuasaan. Maka anak, istri, menantu, kroni dan jaringan politiknya, menjadi kekuatan menghadapi lawan politik yang dicurigai membahayakan dan menyaingi kekuasaannya.
Keadaannya, seperti firman Allah : “Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru manusia ke neraka dan di hari kiamat mereka tidak akan ditolong. Dan Kami ikutkanlah la’nat kepada mereka di dunia ini, dan pada hari kiamat mereka termasuk orang-orangyang dijauhkan dari rahmat Allah.” (Qs. Al-Qashas, 28:41-42).
Di depan peserta rapat pimpinan (rapim) TNI dan Polri 21/1/2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) curhat tentang gaji yang diterimanya. Dia mengaku, selama tujuh tahun menjabat orang nomor satu di Indonesia, belum pernah mengalami kenaikan gaji.
Hari ini SBY minta naik gaji, gedung DPR dibangun dengan biaya 300 trilyun, dan DPRD DKI bertekad beli mobil mewah. Sedang kaum agamawan, kaum intelektual dan rakyat mayoritas mengoreksi dan menasihati penguasa, agar hidup hemat, sederhana. Jangan biarkan terus menerus rakyat hidup melarat, ternyata tidak digubris juga. Lalu, apa yang akan terjadi nanti?
Padahal, gaji Presiden RI beserta tunjangannya sebesar Rp 62.497.800 per bulan. Sedangkan dana operasional atau taktis untuk Presiden adalah Rp 2 miliar per bulan.
Untuk Wakil Presiden RI, gaji yang diberikan adalah Rp 42.548.670 per bulan ditambah dana taktis operasional yang sebesar Rp 1 miliar per bulan.
Bayangkan, apa yang ada di benak SBY, jajaran eksekutif dan juga legislatif. Ketika rakyatnya dalam kondisi sengsara, menderita gizi buruk, ditimpa bencana, hidup ditenda darurat, kekurangan gizi, langka air bersih. Para nelayan berhenti melaut karena badai, petani berhenti bertani karena gempa, tsunami, maupun lahar dingin merapa. Eeh, tiba-tiba SBY curhat, sudah tujuh tahun gajinya tidak dinaikkan. Sebelumnya ketua DPR RI Marzuki Ali ngotot membangun gedung mewah. Bahkan zalimnya mereka, usulan pengadaan mobil mewah bagi tamu penting DPRD DKI, juga disetujui untuk anggaran 2011.
Masya Allah, apa yang ada di otak mereka anngota wakil rakyat, dan apa yang bersemayam di hati Presiden SBY? Tidak ada rasa malu dan tak ada pula kesedihan menyaksikan derita rakyatnya. Sabda Nabi Saw, agaknya tepat bagi mereka. “ Idza lam tastahi’ fashna’ ma syi’ta (Jika rasa malu sudah tidak ada, maka berbuatlah sesukamu).”
Prilaku hedonistik, berfoya dalam kemewahan, gembira di atas penderitaan rakyat, adalah karakteristik pejabat negara RI, sehingga mereka tidak sungkan menjadi koruptor. Mereka diserahi amanah mengurus kepentingan rakyat, tapi malah menjarah harta rakyat. Benarlah mahfudzat yang menyatakan: “Hamiha haramiha, mereka penjaganya mereka pula malingnya.”
Dalam kondisi demikian, para pejabat Indonesia mustahil dapat memenuhi janjinya untuk mensejahterakan rakyat, menegakkan hukum, dan menghentikan korupsi, disebabkan beberapa alasan mendasar. Di dalam sistem demokrasi terdapat partai-partai yang akan mengusung calonnya untuk menjadi pemimpin atau kepala daerah. Calon pemimpin atau kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat dengan suara terbanyak. Karena suara rakyat dianggap suara tuhan.
Untuk memperoleh suara dari rakyat, sang calon pemimpin/kepala daerah harus punya kapital (modal besar). Contohnya, bila seorang calon gubernur ingin terpilih dia harus mengeluarkan biaya sekitar 100-200 milyard. Di DKI bisa lebih hingga 500 M, sedangkan Bupati/Walkot bisa mencapai 10-20 M. Bahkan salah seorang bupati di Jawa Tengah rela mengeluarkan puluhan milyar untuk meraih kemenangan dalam pemilukada yang baru lalu. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan dana 55 trilyun untuk 244 daerah yang menyelenggarakan pemilukada. Uang yang dikeluarkan para calon penguasa tersebut bisa berasal dari koceknya sendiri atau dana bantuan dari pengusaha dengan syarat perjanjian tertentu yang menguntungkan pengusaha. Dukungan finansial pengusaha kemudian dikenal dengan konspirasi penguasa-ha (pengusasa dan pengusaha). Uang ini digunakan untuk kampanye, cetak stiker, baliho, banner, uang rokok, makan-minum para tamu yang berkunjung ke rumah calon kepala daerah dll. Terutama, untuk biaya serangan fajar bagi masyarakat miskin, yang sakit intelektual dan finansialnya. Bagi mereka uang 20-50 ribu sangatlah berharga.
Sementara gaji gubernur hanya 9 juta/bulan. Selama 5 tahun (60 bulan masa jabatan maksimal) total gajinya hanya 540 juta. Sedangkan modal yang sudah dikeluarkan 100-200 M. Modal kuasa ini harus kembali dengan keuntungan. Mustahil bisa dikembalikan hanya hasil gaji. Dari sinilah maka niat untuk merampok/korupsi uang negara muali bersemi. Demikian pula dengan bupati/walkot yang gaji bulanannya hanya 6 juta selama masa jabatan lima tahun (60 bulan) menhasilkan gaji 360 juta saja. Bandingkan dengan modal yang telah dikeluarkan antara 10-20 milyar.
Akibatnya, kini 148 dari 244 kepala daerah sekarang terjerat kasus korupsi. Belum lagi korupsi yang menggurita di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif, mulai tingkat pusat hingga daerah. Ditambah lagi, sumber daya alam potensial di negeri ini kian terkuras dikuasai pengelolaannya oleh negara asing.
Lalu berapa dana yang dihamburkan untuk mencalonkan diri sebagai presiden, guna meraih dukungan rakyat?
Aneh tapi nyata, dan hanya terjadi di Indonesia. Seorang terpidana terpidana kasus APBD 2006-2008 yang diduga merugikan negara 33,4 milyar bernama Jefferson Soleman Mostesqui Ketua Partai Golkar di kota Tomohon Sulawesi Utara yang sedang di penjara di LP Cipinan Jakarta dilantik sebagai Walikota To-mohon, jum’at 7 Januari 2011 di Aula Kesbangpol Kementarian Dakam Negeri Jl. Veteran Jakarta. Dihadiri oleh Dewan pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tanjung, yang juga pernah ditahan atas dugaan korupsi 40 milyar, dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono dengan 400 undangan yang terdiri dari anggota DPRD, camat dan lurah. Setelah pelantikan, sang walikota kembali digelandang ke LP Cipinang.
Seusai dilantik menjadi wakikota Tomohon, dia pun melantik 26 pejabat eselon II pemkot Tomohon di LP Cipinang, 8 Januari 2001. Inilah potret demokrasi di Indonesia, melantik pejabat di penjara oleh pejabat tersangka koruptor yang sedang dipenjara
Sungguh ironis, para pejabat yang diambil sumpahnya itu menyatakan untuk tidak melanggar sumpah jabatan, termasuk korupsi. Namun, pejabat yang melantik justru terpidana korupsi. Menurut Jefferson, pelantikan ini dilaksanakan agar pemerintahannya tetap berjalan.
Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad menjalani pemeriksaan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Rabu (9/2). Ia diperiksa sebagai tersangka kasus penyalahgunaan dan pertanggungjawaban APBD Pemerintahan Kota Bekasi 2010. Mochtar pun diduga terlibat suap pemenangan Adipura 2010 untuk Bekasi.
Kuasa hukum Mochtar, Sira Prayuna, mengatakan pemeriksaan membahas seputar dana kegiatan kepala daerah Bekasi. Ia memperkirakan muncul tersangka baru dalam kasus penyalahgunaan APBD tersebut.
KPK menduga Mochtar melakukan perjanjian kredit multiguna dalam APBD untuk kepentingan pribadi. Ia pun diduga menyuap sejumlah pihak untuk mengesahkan APBD 2010. Dalam kasus itu, Mochtar meminta dana partisipasi dua persen dari anggaran proyek pada kepala dinas guna memperlancar pengesahan APBD.
Selain itu, Mochtar pun diduga menyuap beberapa pejabat Kementerian Lingkungan Hidup untuk memenangkan penghargaan Adipura. Dua anak buahnya dilibatkan dalam kasus tersebut. KPK belum menghitung kerugian negara akibat tindak pidana korupsi itu. Namun, KPK memperkirakan kerugian itu mencapai miliaran rupiah. Pemeriksaan ini bukan untuk pertama kalinya. KPK pernah memeriksanya pada 13 Desember 2010 sebelum menahan Wali Kota Bekasi tersebut
Dosa Siapa
Lahirnya pemimpin yang tidak becus mengurus negara, pejabat-pejabat yang rakus, tidak bermoral, mati rasa dan kesat hati, menjerumuskan rakyatnya kelembah nista dan teraniaya, merupakan tanggungjawab rakyat yang memilihnya. Dosa terbesar justru ditanggung oleh rakyat karena pemimpin durjana seperti itu lahir dari pilihan langsung oleh rakyat atas nama demokrasi.
Jika sekarang, penguasa yang mereka pilih, ternyata tidak peduli dengan nasib pemilihnya, lalu apa yang akan diperbuat? Ancaman kehancuran menghadang Indonesia masa depan, yang lebih dahsyat dengan apa yang menimpa sekarang. Apabila tidak ada perbaikan serta kesadaran obyektif rakyat Indonesia, maka Nasib bangsa Indonesia seperti digambarkan dalam wahyu Ilahy:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati perintah Allah). Tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadap mereka ketentuan Allah. Niscaya Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. Al-A’raf, 17:16).
Sesungguhnya atas kehendak Allah-lah yang menentukan hidup manusia tunduk pada Hukum Kausalitas yang tak pernah meleset atau tertukar. Ketika ada sebab, maka ia akan diikuti oleh akibatnya, sehingga berlangsunglah kehendak Allah dan keputusan-Nya. Allah tidak pernah menyuruh orang berlaku menyimpang, karena tidak mungkin Dia memerintahkan berbuat kekejian. Tetapi, keberadaan orang yang bermewah-mewahan itu sendiri menjadi bukti bahwa suatu bangsa telah rapuh pondasi bangunannya, dan mereka telah berjalan menuju kehancuran. Takdir Allah sudah pasti akan menimpanya sebagai balasan yang setimpal atas perbuatannya, karena mereka sendirilah yang membiarkan orang-orang yang hidup bermewah-mewahan itu eksis dan dominan.
Yang dimaksud kehendak Allah disini bukanlah kehendak dalam bentuk perintah paksa agar terjadi sebab kehancuran itu. Tetapi, kehendak untuk melangsungkan akibat karena adanya sebab; sesuatu yang tidak mungkin dapat dihindari karena Hukum Kausalitas itu pasti berlaku. Begitu pula tak ada perintah yang bersifat arahan pada perilaku menyimpang. Tetapi, measalahnya adalah bahwa Allah membuat konsekuensi logis atas keberadaan orang-orang yang hidup bermewah-mewahan dengan terjadinya berbagai penyimpangan yang mereka perbuat.
Orang-orang yang hidup mewah pada segala bangsa adalah mereka yang berada pada lapisan elit dan para pembesar. Mereka punya banyak uang, punya kroni dan hidupnya serba ada. Mereka pun menikmati itu semua smabil berfoya-foya dan berkuasa. Sehingga, jiwa merekapun menjadi rapuh yang menyebabkan mereka suka berbuat seenaknya, tanpa mengindahkan nilai-nilai kesucian dan kehormatan. Kalau tidak ada pihak yang menghalangi mereka, maka merekapun kian merajalela dalam kemungkaran, dengan menebar prostitusi di tengah-tengah masyarakat, berjudi, narkoba, minuman keras, dan merendahkan nilai-nilai luhur yang diyakini masyarakat sebagai fondasi kehidupan yang harus di jaga. Jika hal itu terjadi, maka negeripun akan menjadi lemah dan penuh dekadensi.
Adalah sunatullah, kehancuran suatu negeri tidak akan bisa dibendung, manakala faktor-faktor kehancurannya tidak bisa dihilangkan. Yakni, banyak penduduk yang hidup bermegah-megahan, tanpa peduli nasib derita orang lain, sementara penduduk lainnya di negeri itu tidak mau mencegah mereka dengan sekuat tenaga; sehingga hidup bermegah-megahan, kemaksiatan merata di seluruh negeri. Akibatnya, negeri itu lemah dan penuh tindakan destruktif.
Maka yang harus bertanggungjawab atas kerusakan yang terjadi, pastilah rezim penguasa, rakyat pendukungnya dan kelompok elite yang bermegah-megahan dengan selera rendah. Munculnya kelompok elit yang bermewah-mewahan itu sendiri menjadi sebab Allah menjadikan mereka melakukan penyimpangan. Sekiranya negara menutup jalan agar kelompok ini tidak muncul secara dominan, niscaya tak akan terjadi keruntuhan negeri. Sehingga, Allah tidak akan menjadikan orang yang berbuat kerusakan di dalam negeri yang akan membawa negeri itu ke jurang kehancuran, sebagai kelompok dominan.
Dalam kaitan ini, tampak jelas tanggungjawab kolektif dalam sebuah komunitas masyarakat gar mereka meninggalkan sistem yang sudah usang (rusak) yang dampak buruknya sulit untuk dihindari. Sistem seperti ini tidak mungkin mampu mencegah kelompok elitis yang hidup bermewah-mewahan itu, untuk tidak berbuat kedurhakaan di dalam negeri, yang akhirnya mengundang murka Allah dan negarapun menjadi terpuruk dan binasa.
Sunnatullah ini sudah berlangsung sejak masa umat-umat terdahulu sesudah Nabi Nuuh, generasi demi generasi. Setiap kali dosa-dosa berserakan di tengah suatu bangsa, maka sudah pasti bangsa, serta pemimpin itu berakhir teragis.
Generasi yang ditindas oleh penguasa, dirusak moralnya, dihancurkan segala potensi kebaikan di dalam negeri oleh kaum elit yang gemar berfoya. Kelak generasi yang ditelantarkan dan dihinakan kehidupannya, nasibnya disandera di tangan rezim pembohong dan zalim, senantiasa berdo’a:
“Ya Rabbi, sesungguhnya kami telah mengikuti pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan-Mu. Ya Rabbi, timpakanlah siksa kepada mereka berlipat-lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang dahsyat.” (Qs. Al-Ahzab, 33:67-68).
Jogjakarta, 14 Februari 2011
Sangat mungkin gejolak ini menyebar dengan cepat keseluruh dunia terutama negeri-negeri yang dihuni oleh kaum muslimin.
Akan tetapi, satu hal yang tidak disadari oleh kaum muslimin seluruhnya, sesungguhnya kondisi yang terjadi secara global didunia saat ini seluruhnya, telah dengan sengaja diciptkan oleh satu kekuatan yang tak nampak namun begitu kuat pengaruhnya dalam beberapa segi yang penting baik, politik, budaya, ekonomi maupun sosial kemasyarakat dan yang paling mempengaruhi yaitu media komunikasi. Merekalah yang membentuk kondisi ini sebagaimana mereka dahulu telah melakukannya terhadap kaum nashara di benua Eropa sehingga terjadilah revolusi di benua Eropa yang melahirkan negara republik pertama di era Tatanan Dunia Baru jilid pertama, yaitu Republik Perancis. Setelah itu, baru kemudian lahirlah Negara demokrasi Amerika Serikat yang menjadi adik kandungnya.
Jilid kedua Tatanan Dunia Baru ini, nampaknya sudah dimulai dengan kaum muslimin yang menjadi korbannya, sebagaimana kaum nashara dahulu telah menjadi korban Tatanan Dunia Baru jilid Pertama. Apa yang dikatakan oleh Rasulullah shollalahu ‘alaihi wassallam-pun semakin jelas terlihat : “Kamu sekalian pasti akan mengikuti orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sedepa demi sedepa, sampai akhirnya jika mereka masuk kelubang biawak kalian akan memasukinya”. Para sahabat bertanya: “Siapakah mereka itu ya Rasulullah? apakah Yahudi dan Nashara? Rasulullah shollalalhu ‘alaihi wassalam menjawab: “Siapa lagi?”
ALLOHUAKBAR!!!
MAHA BENAR ALLAH dengan segala firmanNya