Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Pada tahun 1980, terbit sebuah buku spektakuler berjudul Militant Islam. Penulisnya, seorang orientalis bernama Godfrey H. Jansen. Buku setebal 320 halaman itu dialihbahasakan oleh Ahmahedi Mahzar, dan diterbitkan oleh Penerbit Pustaka Salman, ITB, Bandung, dengan judul ISLAM MILITAN.
Dalam buku tersebut, secara obyektif, GH Jansen menggambarkan Islam sebagai agama yang mencakup seluruh segi kehidupan dan menyeluruh. Islam adalah agama yang akan tetap hidup, dari sejak ia ada hingga dunia ini berakhir. Sebab, Islam memiliki vitalitas yang tinggi dalam hal mempertahankan ajarannya. Dalam setiap masa akan selalu ada segolongan umat yang mempertahankan hal itu. Menurut Jansen, Islam bisa berkembang sangat cepat dibandingkan agama-agama lain yang lebih dulu ada. Bukan hanya kuat untuk melawan tantangan-tantangan fisik dalam peperangan, tapi Islam juga punya vitalitas yang tinggi dalam membendung arus modernisasi yang dapat melunturkan ajarannya.
GH Jansen juga menjabarkan hal-hal yang selama ini menjadi tantangan bagi Islam secara umum. Mulai dari konflik antaragama, perang fisik, penjajahan, perang pemikiran, modernisasi dan industrialisasi. Tantangan fisik seperti penjajahan dan peperangan, kata Jansen, tidak lain adalah lahan JIHAD bagi umat muslim. Sedangkan bagi kaum lain yang menyerang Islam, mereka bisa membawa bermacam kepentingan termasuk kepentingan ekonomi, politik, dan agama.
Dikatakannya, tantangan paling mengerikan bagi umat Islam adalah perang pemikiran. Bagaimana kaum yang lain mencoba melakukan pembodohan melalui jalur pendidikan, baik batasan-batasan yang diberlakukan hingga sistem yang dibuat sama sekali westernis. Adalah aneh, tapi nyata, bagaimana kaum orientalis menjadi suhu-suhu dan guru-guru bagi orang Islam yang ingin belajar Islam. Dari sinilah pemikiran sarjana-sarjana muda Islam mulai terakulturasi oleh pendidikan barat.
Namun terbukti kemudian, seperti pernyataan Hurgonje bahwa, ‘Tidak ada harapan yang bisa diterima akal untuk mengubah sejumlah besar pengikut Muhammad menjadi penganut agama Kristen sekte manapun. Satu-satunya yang mereka yang bisa dilakukan hanyalah membawa pengikut Muhammad supaya enggan menerima agama Islam sepenuhnya’.”
Menegaskan identitas Islam
Apakah yang dimaksud Islam militan? Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pengertian militan adalah seseorang yang bersemangat tinggi, penuh gairah, aktif, pejuang yang agresif serta memiliki keinginan atau kemauan untuk menggunakan metode yang tegas, ekstrim, dan terkadang dengan paksaan untuk mencapai tujuan.
Jadi, Islam Militan merupakan individu atau umat muslim yang selalu bergairah, tekun, gigih, punya semangat juang tinggi, pantang menyerah, dan tangguh menghadapi tantangan serta rintangan. Mereka adalah petarung ideologi sekaligus petarung fisik untuk membela dan memperjuangkan tegaknya syariat Islam
Dari sekian banyak muslihat musuh untuk menghancurkan Islam, salah satu di antaranya adalah membuat orang Islam takut menampilkan kebenaran Islam secara terus terang. Padahal keberanian untuk berterus terang dengan kebenaran Islam, diajarkan Al Quran. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menginstruksikan pada Rasul-Nya:
قُلْ هٰذِهٖ سَبِيْلِيْٓ اَدْعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ ۗعَلٰى بَصِيْرَةٍ اَنَا۠ وَمَنِ اتَّبَعَنِيْ ۗوَسُبْحٰنَ اللّٰهِ وَمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْن
Wahai Muhammad, katakanlah: “Inilah jalanku. Aku mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dengan hujah yang benar. Aku bersama para pengikutku mengikuti agama Allah. Mahasuci Allah dan aku sama sekali tidak mau termasuk golongan kaum musyrik.” (QS Yusuf (12) : 108)
Ayat ini merupakan perintah untuk berterus terang dengan kebenaran Islam: “inilah agama yang benar” berdasarkan hujah yang benar pula (‘ala basyiratin). Juga, berterus terang dengan identitas Islam, “Isyhadu bianna muslimun, saksikan aku adalah seorang muslim”.
Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib mengatakan, ayat ini juga menunjukkan, bahwa tugas dakwah harus dilakukan oleh orang yang ahli dan berilmu. Karena mempertahankan kebenaran, keadilan serta kemuliaan menggunakan hujah dan argumentasi yang benar, tidak mungkin dilakukan oleh orang awam. Tidak bisa hanya mengandalkan popularitas, tapi kewajiban dakwah harus dilakukan oleh mereka yang ahli, pintar, genius, dan berakhlak mulia.
Untuk kepentingan dakwah, menyampaikan kebenaran Islam, tegas beliau, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus manusia terbaik, pintar, mulia, jujur, militan, yaitu seorang Nabi dan Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam, dengan kualitas sempurna: Tabligh (menyampaikan), Fathanah (cerdas), Siddiq (jujur), Amanah (terpercaya).
Sangat disayangkan, di zaman kita sekarang dakwah banyak dilakukan oleh Da’i muda tanpa ilmu, hanya mengandalkan popularitas, dengan bahasa gaul, disukai karena penyampaiannya menarik, tapi isinya kacau, tidak bernas.
Intimidasi dan sertifikasi ulama
Seorang Da’i haruslah menjadi contoh dalam mengamalkan dan menegakkan kebenaran Islam. Memberi contoh akhlak mulia, kearifan, keluasan wawasan serta militansi dalam beragama. Apa yang kita saksikan sekarang, tugas dakwah dilecehkan oleh kaum Islamophobia akibat Da’i yang buruk. Berapa banyak ulama, ustadz, kyai, yang membawa amanah dakwah bergandengan tangan dengan orang kafir, ikut natal bersama dan menjaga greja atas nama toleransi. Padahal mereka membaca ayat Allah, lakum dinukum waliyadin. Surat Yusuf ayat 108 di atas menunjukkan karakter Da’i yang tidak mau mengikuti orang musyrik. “Aku dan pengikutku hanya mengikuti agama Allah, dan tidak mau terlibat dalam segala aktifitas kemusyrikan,” tegas Rasulullah.
Apabila dakwah tidak fokus menunjukkan kearah jalan lurus, membersihkan umat dari paham sesat, dan prilaku musyrik. Maka bukan kebaikan yang akan lahir, melainkan munculnya generasi rusak, amoral, pemabuk, penzina, durhaka pada orang tua, bahkan anti agama, juga ingkar sunnah.
Ketika para Da’i takut berterus terang dengan kebenaran Islam, atas nama toleransi, kemanusiaan dan sikap moderat, maka yang terjadi memang malapetaka moral dan intelektual.
Firman Allah Swt:
وَاِنْ كَادُوْا لَيَفْتِنُوْنَكَ عَنِ الَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهٗۖ وَاِذًا لَّاتَّخَذُوْكَ خَلِيْلًا
Wahai Muhammad, sungguh orang-orang kafir nyaris dapat membelokkan kamu dari agama yang telah Kami wahyukan kepadamu. Mereka berupaya agar kamu melakukan kebohongan atas nama Kami dengan cara merekayasa ayat yang tidak diwahyukan kepadamu. Jika kamu mau berbuat demikian, mereka akan menjadikan kamu sebagai teman dekat mereka. (QS Al-Isra’ (17) : 73)
وَلَوْلَآ اَنْ ثَبَّتْنٰكَ لَقَدْ كِدْتَّ تَرْكَنُ اِلَيْهِمْ شَيْـًٔا قَلِيْلًا ۙ
Wahai Muhammad, sekiranya Kami tidak meneguhkan hatimu, sungguh kamu nyaris condong sedikit kepada mereka. (QS Al-Isra’ (17) : 74)
اِذًا لَّاَذَقْنٰكَ ضِعْفَ الْحَيٰوةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيْرًا
Wahai Muhammad, kalau kamu berbuat demikian, niscaya Kami timpakan kepadamu adzab lipat dua di dunia dan juga di akhirat. Kemudian kamu tidak akan mendapatkan seorang pun yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab Kami. (QS Al-Isra’ (17) : 75)
Selain menakut-nakuti orang Islam, termasuk siasat kaum Islamophobia adalah bersikap kompromi. Mengajak para ulama, kyai, ustadz agar mau berkompromi dalam urusan aqidah dan ibadah, merupakan siasat licik.
Di zaman nabi, orang-orang kafir Quraisy mengatakan,
“Carikan ayat lain yang membolekan kami mengikuti budaya nenek moyang dan menyembah patung. Atau kita kompromi, sekali menyembah Tuhanmu di waktu lain menyembah tuhan kami”.
وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَۚ
Kaum kafir menginginkan kamu kompromi dengan mereka, lalu mereka mau berlaku toleran kepadamu. (QS Al-Qalam (68) : 9)
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِيْنٍۙ
Wahai Muhammad, janganlah kamu mengikuti kemauan orang-orang yang suka bersumpah secara batil dan senang berbuat hina, (QS Al-Qalam (68) : 10)
هَمَّازٍ مَّشَّاۤءٍۢ بِنَمِيْمٍۙ
orang-orang yang suka mencela kaum mukmin dan suka menghasut, (QS Al-Qalam (68) : 11)
مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ اَثِيْمٍۙ
orang-orang yang suka merintangi orang melaksanakan syari’at Allah, orang-orang yang melampaui batas dan suka berbuat dosa, (QS Al-Qalam (68) : 12)
Sekaliber Nabi saja nyaris tertipu oleh makar, rayuan, propaganda, bahkan provokasi orang kafir. Padahal siapa yang meragukan militansi aqidah Nabi. Tapi dikatakan dalam ayat ini, jika Allah tidak meneguhkan hatinya, nyaris saja beliau terbawa arus pemikiran jahiliyah. Bayangkan, jika nabi saja hampir terpengaruh, apalagi para pendakwah zaman sekarang. Karena itu diperlukan konsistensi dan militansi dalam memegang prinsip dengan mohon petolongan Allah.
Begitulah yang terjadi di masa masyarakat Quraisy dulu. Ajakan kompromi orang kafir ini, mengingatkan kita pada sikap ulama Islam di masa Orla dan Orba. Pada tahun 60-an, ketika Bung Karno mengorbitkan demokrasi terpimpin dengan tiga pilar utamanya, yaitu nasionalisme, agama, komunisme, yang disingkat NASAKOM, berbondong para ulama mempropagandakan paham komunis.
Jika ada yang menolak mereka dipenjarakan. Seperti yang menimpa ulama Muhammadiyah bernama Fakih Usman. Dia rela diturunkan dari jabatan Ketum Muhamnadiyah demi mempertahankan aqidah. Tapi yang lain, dengan alasan demi menyelamatkan organisasi dari ancaman dan intimidasi penguasa, mereka menerima Nasakom, yang dikemudian hari disesali. Malah seorang kyai dan tokoh partai Islam mengatakan, “Jangankan dengan Nasakom, dengan setanpun kami bisa kerjasama.”
Di zaman rezim Suharto, saat diajak menjadikan Pancasila satu-satunya asas, dan memosisikan pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, banyak ulama yang siap kompromi dan mengorbankan agamanya. Di masa reformasi, beragam upaya membungkam ulama dan pondok pesantren, antara lain dengan menawarkan kerja sama dengan para taipan cina.
Oportunisme seperti ini juga terjadi di negeri negeri muslim lainnya seperti Mesir di bawah rezim Gamal Abdul Nasser. Ada ulama Al-Azhar Muhammad Saltut yang mengajak masyarakat, bahwa nasionalisme sejalan dengan Islam. Ulama yang menentang paham ini, seperti Abdul Qadir Audah digiring ke tiang gantungan. Di zaman reformasi, ulama Indonesia mengajak kepada Islam Nusantara yang berbeda dengan Islam Arab. “Islam Arab memproduksi terorisme, sedang Islam nusantara berbasis budaya demi perdamaian,” katanya.
Keberadaan sejumlah tokoh dan partai Islam di lingkaran legislatif dan eksekutif malah menjadi ’alat pemukul’ penguasa yang efektif untuk menghadapi gerakan-gerakan pro-syariat di luar parlemen dan pemerintahan.
Pasca serangan AS atas Afganistan dan Irak, reaksi anti AS semakin menguat di Dunia Islam. Karena itu, dalam rangka meredam aksi-aksi dan sentimen anti AS di Indonesia, misalnya, AS banyak menguras koceknya untuk ’membeli’ ulama dan ’menciptakan’ ulama palsu. Hal ini terungkap dari buku The CIA at War yang menguak program membeli ulama dan pemimpin Islam dalam menghadapi sentimen-sentimen anti Amerika di Dunia Islam dan Arab. Dalam wawancara pengarang buku tersebut dengan George Tenet (Direktur CIA), ditegaskan bahwa Amerika menemukan ruang untuk melawan gelombang anti AS dengan cara menyuap para ulama atau kyai, menciptakan kyai palsu, dan merekrut tokoh-tokoh agama Islam sebagai agen.
Benarlah firman Allah Swt:
وَاِنْ كَادُوْا لَيَسْتَفِزُّوْنَكَ مِنَ الْاَرْضِ لِيُخْرِجُوْكَ مِنْهَا وَاِذًا لَّا يَلْبَثُوْنَ خِلٰفَكَ اِلَّا قَلِيْلًا
Wahai Muhammad, sungguh orang-orang kafir nyaris menjadikan kamu merasa serba tertekan tinggal di Makkah, karena mereka ingin mengusirmu dari negeri Makkah ini. Kalau orang-orang kafir jadi mengusirmu dari Makkah, maka sepeninggalmu orang-orang kafir hanya sebentar saja tinggal di negeri ini karena mereka akan dibinasakan. (QS Al-Isra’ (17) : 76)
Dengan sikap ini mereka tidak mempertimbangkan generasi yang datang kemudian, yang rusak aqidah dan akhkaknya. Jatuh pada pemahaman sesat dan menyimpang.
Keteguhan memegang prinsip, merupakan anugerah Allah. Tidak pernah terjadi dalam sejarah, kompromi dalam kemusyrikan dan kesesatan membawa pada kejayaan Islam. Apabila lentera dakwah dibawa oleh kaum oportunis, maka tugas dakwah akan dilecehkan orang. Wibawa Islam jadi tercemar.
Kajian malam Jum’at, 22/10/2020