Relokasi paksa masyarakat pulau Rempang yang dilakukan pemerintah, merupakan tindakan zalim dan tidak manusiawi. Terdapat 16 kampung tua di Pulau Rempang, yang terdiri atas suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, diyakini telah bermukim di Pulau Rempang sejak 1834. Disinyalir, mereka adalah penduduk asli (bumiputra) keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga.
Masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam, Nyat Kadir dengan investor dari Group Artha Graha milik Tony Winata, yakni PT MEG. Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut diterlantarkan.
Berdasarkan UUPA, UU Nomor 5 Tahun 1960, pasal 34 huruf e : Hak Guna Usaha, penelantaran hak guna usaha selama 19 tahun, seharusnya batal demi hukum.
Pada tahun 2023 PT MEG menggandeng investor dari Cina dengan investasi disebutkan sebesar Rp 381 Trilyun; dan akan membangun Megaproyek yang disebut REMPANG ECO CITY. Untuk kepentingan ini, BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare, yang berarti seluruh pulau Galang yang luasnya 116.000 Hektare, ditambah dengan pulau-pulau disekitarnya. Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, terancam dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang hingga sekarang tempat relokasi dimaksud belum ditentukan.
Untuk menyelesaikan konflik relokasi paksa tersebut secara bermartabat, Majelis Mujahidin menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
- Dengan dalih apa pun, pemerintah tidak berhak merampas tanah rakyat. Sebagai presiden, Jokowi pernah berjanji pada rakyat Pulau Rempang, Batam:
“Saya pernah menyampaikan konsesi yang diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN kalau ditengahnya ada desa, ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ, kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi itu, ya siapapun pemilik konsesi itu, berikan. Berikan kepada masyarakat kampung, desa kepastian hukum. Kalau yang diberi konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya. Saya sudah perintahkan ini,” kata Jokowi pada saat membuka rapat di Istana Negara, Jakarta, Jumat 3 Mei 2019. Kini, saatnya Presiden Jokowi untuk menunaikan janji tersebut.
- Kepentingan negara hendaknya merepresentasikan kepentingan rakyat, khususnya masyarakat Rempang dan sekitarnya. Bukan membuldozer atau mempiting rakyatnya sendiri demi investor asing. Oleh karena itu, penyelesaian konflik harus memuaskan rakyat Rempang.
- Konsesi atas relokasi masyarakat Rempang tidaklah otomatis menghilangkan hak milik dan wilayah adat masyarakat Rempang.
- Hak milik adat masyarakat Rempang yang direlokasi harus dikonversi sebagai saham investasi masyarakat Rempang dan sekitarnya terhadap proyek Rempang ECO City yang akan dibangun. Sehingga masyarakat ikut memiliki Rempang ECO City sebagai kekayaan berkelanjutan yang akan bermanfaat bagi kehidupan keluarga besar generasi mereka.
Demikian pernyataan ini disampaikan agar mendapat perhatian dari pemerintah, dengan mempertimbangkan aspirasi rakyat Rempang yang ingin mempertahankan hak miliknya.
Yogyakarta, 20 September 2023
Ketum M. Shobbarin Syakur, B.Sc
Sekum Ahmad Isrofiel Mardlatillah, MA