MAKLUMAT DAN SERUAN MAJELIS MUJAHIDIN
HADAPI KONSPIRASI PANCASILAIS MUNAFIK
Kepada :
- Presiden RI Ir. Joko Widodo
- Pimpinan MPR, DPR dan DPD RI
- Pimpinan Fraksi-fraksi
- Panglima TNI
- Kapolri
- Pimpinan MK
- Jaksa Agung
- Pimpinan Mahkamah Agung
- Pimpinan pusat Partai-partai politik
- Pimpinan MUI Pusat
- Pimpinan pusat Ormas
- Rakyat dan Media massa
Sejak periode pertama pemerintahan Presiden Ir. Jokowidodo menyiratkan adanya upaya manipulasi Pancasila 18 Agustus 1945, sebagai implementasi visi Capres-Cawapres 2014-2019 Jokowi-JK. Yaitu, “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Begitu pula visi Capres-Cawapres Jokowi-Ma’ruf Amin 2019-2024 : “Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”.
Mengapa landasan kenegaraan Jokowi adalah Gotong-royong, dan bukan Pancasila? Dijelaskan dalam visi, misi, dan program aksinya, bahwa Gotong-royong merupakan intisari Pancasila 1 Juni 1945 (Ekasila), yang sila-silanya berbeda dengan Pancasila, 18 Agustus 1945, yang sudah disepakati bangsa Indonesia.
“Kami berkeyakinan bahwa bangsa ini mampu bertahan dalam deraan gelombang sejarah apabila dipandu oleh suatu ideologi. Ideologi sebagai penuntun; ideologi sebagai penggerak; ideologi sebagai pemersatu perjuangan; dan ideologi sebagai bintang pengarah. Ideologi itu adalah PANCASILA 1 JUNI 1945 dan TRISAKTI”. “Gotong royong merupakan intisari dari ideologi Pancasila 1 Juni 1945”. (Visi, misi dan program aksi Jokowi-JK 2014-2019; Sub judul “Meneguhkan Kembali Jalan Ideologis”, hal. 2, alinea 1 dan hal. 4, alinea 2)
Fakta bahwa pemerintahan Jokowi-JK maupun Jokowi-Ma’ruf Amin bernuansa Demokrasi Terpimpin ala Nasakom. Pusat kekuasaan negara begitu besar ada pada eksekutif, karena merasa mendapat mandat rakyat melalui pemilihan langsung dan memiliki kekuatan di parlemen (legislatif), bahkan juga di lembaga-lembaga hukum (yudikatif). Sejak pencalonannya sebagai presiden, timsesnya sudah menampakkan langkah marginalisasi agama dalam pengelolaan negara, ajaran agama menjadi obyek masalah, dicurigai, diasosiasikan SARA, diskriminasi dan politisasi agama, bahkan akan mencabut Perda-perda berbau Syariah. Setelah menjabat, sikap tersebut nampak dari kebijakan-kebijakan presiden melalui para menterinya; Permen; Keppres, Perpres, Perppu, dan Undang-Undang yang dapat dipastikan mengikuti selera dan aspirasi eksekutif. Kotak pandorapun terkuak ketika RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) masuk dalam prolegnas yang diinisiasi oleh DPR RI. Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila 1 Juni 1945 yang berciri pokok Trisila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan) dan berintisarikan Ekasila (Gotong-royong)
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Majelis Mujahidin mengeluarkan maklumat dan seruan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa :
- Presiden Jokowi telah melakukan infiltrasi ideologis terhadap ideologi dan falsafah NKRI, dengan melakukan pergeseran ideologi Pancasila 18 Agustus 1945 yang disepakati bangsa Indonesia melalui keputusan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi Pancasila 1 Juni 1945 dengan memanipulasi dasar negara usulan Bung Karno yang disampaikan dalam sidang BPUPKI. Hal ini bisa mendorong semangat untuk melakukan penyimpangan terhadap ideologi dan falsafah negara RI sebagai komitmen rakyat bangsa Indonesia yang dinyatakan dalam Tap MPR No. XVIII/1998, pasal 1, jo Tap MPR/I/2003 bahwa, Pancasila yang menjadi Dasar NKRI termaktub dalam pembukaan UUD 1945/UUD NRI 1945. Bukan dasar negara yang diusulkan di dalam rapat BPUPKI oleh Prof. Dr. Soepomo, Mr. Muh. Yamin maupun Ir. Soekarno.
- Dikhawatirkan Ideologi Gotong royong (Ekasila) yang menjadi landasan kerja Jokowi dan kelompoknya dalam mewujudkan Indonesia ke depan adalah turunan dari ideologi Gotong-royong yang berporoskan Nasakom, persis sebagaimana pernyataan tokoh PKI D.N. Aidit : “Gotongrojong jang mendjadi perasan Pantja Sila adalah terang Gotongrojong berporoskan Nasakom..” (Buku “Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis (PKI dan AURI) II.”, D.N. Aidit, Menko/Wakil Ketua MPRS/Ketua CC. PKI, Jajasan “Pembaruan” Djakarta 1964).
- Menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), karena akan meristriksi, mereduksi dan membelokkan Pancasila seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang telah dikukuhkan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 sebagai langkah awal dengan menghilangkan kata “Yang Maha Esa” dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa sekaligus sebagai bentuk awal penyimpangan terhadap Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 yang terdiri dari Pembukaan dan Pasal-pasal. Menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup, pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila seperti era sebelum reformasi, hal ini menegasikan ketetapan MPR Nomor V/MPR/2001 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
- Mendukung gotong-royong sebagai karakter sosial budaya bangsa Indonesia yang baik. Namun gotong-royong dalam perspektif ideologi kenegaraan (Ekasila) sebagai kristalisasi dari Pancasila akan menjadi ancaman negara. Memanipulasi Gotong royong sebagai intisari ideologi Pancasila menjadi landasan kerja kenegaraan di bidang Ipoleksosbudhankam, akan dapat mereduksi, bahkan mengeliminasi ke-Bhineka Tunggal Ika-an, dan rawan terhadap otoritarianisme. Berpeluang mengundang ketegangan-ketegangan yang dapat menimbulkan permasalahan persatuan dan kesatuan bangsa serta ketahanan nasional, berpotensi membentuk kepribadian bangsa tanpa jati diri dan menggerus keyakinan dan kehidupan umat beragama yang berdasarkan iman dan takwa.
- Menurut RUU HIP pasal 12 ayat (2), Manusia Pancasila memiliki ciri beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara insinuatif, ciri manusia pancasila tersebut mengindikasikan ada ajaran agama yang tidak adil, tidak beradab dan tidak berkemanusiaan. Mencurigai ajaran agama memiliki ajaran yang tidak sesuai dengan keadaban, keadilan dan kemanusiaan, merupakan sikap Pancasilais munafik. Mereka inilah yang bersuara keras “Saya Pancasila”, lalu memosisikan agama dan siapa saja yang berbeda sikap dengannya sebagai musuh Pancasila dan obyek radikalisme, terorisme, anti emansipasi, intoleran, tidak humanis, melanggar HAM.
SERUAN
Dengan segala kontroversi dan penggiringan opini dan penyimpangan falsafah bangsa yang dilakukan para Pancasilain munafik ini, maka kami menyerukan kepada TNI dan aparat keamanan negara khususnya, para ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat dan rakyat Indonesia yang mencintai NKRI berdasarkan Ketuhanan YME :
- Supaya mengambil langkah bersatu melawan upaya penggeseran ideologi negara Pancasila 18 Agustus 1945 yang agamis kearah ideologi yang bercita rasa sosialis dan komunis.
- Waspada dan bersatu melawan infiltrasi asing terutama dari PKC (Partai Komunis China) ke dalam lembaga negara melalui investasi, kerjasama bilateral antar negara dan partai, utang, pengiriman tenaga asing legal maupun illegal dan lain-lain.
- Mendesak Pemerintah kembali ke jalan yang benar berlandaskan jiwa dan ruh kemerdekaan Republik Indonesia, pembukaan UUD 1945 sebagai staatsfundamentalnorm, norma fundamental kenegaraan, pokok kaidah kenegaraan yang merupakan norma dasar (Grundnorm) bergantungnya seluruh tatanan dan hukum negara.
- Apabila pemerintah tidak bisa memenuhi harapan rakyat dan memenuhi amanah konstitusi, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengambil langkah-langkah konstitusional menggunakan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat bisa mengajukan pertanyaan, usul dan pendapat berkaitan dengan pertanggung-jawaban presiden yang telah melanggar sumpah jabatannya sebagai presiden sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 Pasal 20A ayat (2) dan (3)
- Berusaha memberikan solusi konstitusional sesuai Ketetapan MPR Nomor V Tahun 2000 Tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, dan Tap MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA, mengadakan Dialog Nasional berkaitan dengan falsafah negara Pancasila, sehingga menjadi sebuah pegangan bersama dan disepakati demi menyongsong kehidupan bernegara yang lebih baik, tidak menjadikan ideologi falsafah negara sebagai alat oligarki penguasa.
Yogyakarta, 15 Syawwal 1441 H/7 Juni 2020
Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
Irfan S. Awwas
Ketua
M. Shabbarin Syakur
Sekretaris
Menyetujui :
Al-Ustadz Muhammad Thalib
Amir Majelis Mujahidin