Alhamdulillah, segalah puji bagi Allah yang telah mengutus para Nabi sebagai da’i dan pemberi petunjuk, mengutus para Rasul sebagai pemberi khabar gembira, dan menjadikan mereka sebagai cahaya dan sinar yang menerangi alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Muhammad saw, yang diutus Allah dengan membawa petunjuk dan agama yang benar hingga Yaumul Qiyamah, sebagai pemberi khabar gembira dan peringatan, dan menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi.

Sesungguhnya problema terbesar kaum Muslimin di Indonesia khususnya, dan di dunia pada umumnya, adalah belum berlakunya Syari’ah Islam. Seluruh trageid politik dan kemanusiaan yang datang bertubi-tubi menimpa manusia, pada hakekatnya berpangkal pada masalah ini. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan, bahwa kaum Muslimin dewasa ini belum memiliki tata kepemimpinan umat yang berfungsi secara efektif dan berkemampuan untuk menghantarkan serta memberdayakan mereka pada tingkat kehidupan yang beradab dan bermartabat sebagaimana arahan serta pesan-pesan wahyu Ilahi.

Kenyataan yang kita saksikan sekarang, umat Islam masih tetap terpasung dalam kebodohan, kejumudan, keterbelakangan dan kemiskinan; bahkan konflik warisan masa silam yang menghanyutkan. Indikator semua itu dapat kita saksikan, betapa ketercerai-beraian, keterpecah-belahan, perseteruan dan permusuhan antara komponen umat dalam setiap tingkatnya masih saja berlangsung secara mengkhawatirkan, yang pada gilirannya menjadi kendala klasik yang tak kunjung rampung dientaskan. Tragisnya, semua ini terjadi justru pada saat prahara dan malapetakan yang melanda rakyat Indonesia kian memuncak, sementara musuh-musuh Allah, Rasul-Nya dan Mujahidin terus menguat. Belum lagi tantangan masa depan yang semakin mengkhawatirkan, sehingga beban persoalan menjadi bertambah berat dan rumit.

Pada akhirnya, melalui tatapan mata hati yang bening dan telaahan pikiran yang jernih telah kita insyafi, bahwa pengentasan secara menyeluruh atas segenap persoalan tersebut tidak bisa lain kecuali dengan terbangunnya suatu kekuatan bersama antar komponen umat Islam, serta terciptanya ayunan langkah yang teratur ke arah tujuan yang jelas dan bermakna. Kabut gelap malapetaka, insya Allah akan sirna manakala benih-benih permusuhan di antara umat Islamyang mendukung berlakunya Syari’ah Islam dan umat Islam yang belum siap menerima berlakunya Syari’ah Islam dapat dilumatkan sehingga terbentanglah jembatan emas bagi terselesaikannya persoalan umat yang lainnya, dan pada gilirannya terbitlah fajar keselarasan dan keterpaduan gerak perjuangan di antara komponen umat Islam.

Oleh karenanya, diilhami oleh semangat cita mendzahirkan Syari’ah Ilahi dan dilatari kesadaran akan pentingnya menyelaraskan derap langkah perjuangan dalam rangka menuntaskan persoalan krisis dan krusial keumatan maupun kemanusiaan, maka dengan ketetapan hati yang tulus dan lurus, selaku insan pendamba terpancang kokohnya kebenaran dan keadilan, serta untuk menjunjung tinggi amanah dan kepentingan yang sama yaitu tegaknya Syari’ah Isla, akan mewujudkan negeri dengan predikat “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur,” (Aman, damai dan diridhai Allah).

Sebagai upaya untuk merealisasikan maksud dan tujuan tersebut, maka melalui Konggres Mujahidin I di Jogjakarta, yang berlangsung 5-7 Jumadil Ula 1421 bertepatan dengan 5-7 Agustus 2000, yang dihadiri sebanyak 1.800 orang peserta yang datang dari 24 perwakilan di seluruh Indonesia dan utusan luar negeri, dan telah melahirkan Piagam Jogjakarta dan menetapkan berdirinya Majelis Mujahidin, sebuah institusi aliansi (tansiq ummat Islam bagi penegakan Syari’ah Islam di Indonesia), sebagai langkah awal penegakan Syari’ah Islam di seluruh dunia.

Oleh karena itu, perlu disusun program dan perencanaan yang syumul (komprehensif) sebagai rujukan bagi ummat Islam dalam melaksanakan puncak pengabdiannya, yaitu perjuangan menegakkan Hukum Allah, yang dengannya Islam akan benar-benar berfungsi sebagai Rahmatan lil ‘alamin.

Sehubungan dengan adanya ancaman disintegrasi bangsa dan pengingkaran terhadap Syari’ah Islam, maka pada tangga 15 Jumadil Ula 1421/15 Agustus 2000 M, saat-saat berlangsungnya sidang paripurna DPR RI, delegasi Majelis Mujahidin telah membacakan Shahifah (piagam) Jogjakarta dan pokok-pokok rekomendasi keputusan Konggres Mujahidin di hadapan fraksi Golkar, PPP dan Partai Bulan Bintang, yang intinya antara lain:

  1. Sesungguhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang utuh dan berdaulat merupakan dambaan kita semua.
  2. Berkembangnya potensi disintegrasi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin akut menunjukkan bahwa tesis yang mengatakan bahwa, “Bila Syari’ah Islam diterapkan bagi pemeluk-pemeluknya maka akan terjadi disintegrasi,” adalah salah dan tidak berdasar.
  3. Justru, karena Syari’ah Islam yang merupakan fitrah bagi ummat manusia pada umumnya tidak diterapkan, maka potensi disintegrasi bangsa pun berkembang, bersamaan dengan bermunculannya berbagai bencana di bidang politik, keuangan dan moneter, HAM dan demokrasi, dan sebagainya.
  4. Oleh karena itu membelakukan Syari’ah Islam bagi ummat Islam dan memberlakukan ketentuan agama lain (Kristen, Katholik, Hindu, Budha) kepada para pemeluknya merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka mencegah disintegrasi bangsa.
  5. Merupakan hak asasi setiap pemeluk agama untuk menerapkan ajaran (syari’ah) agamanya masing-masing di dalam kehidupan sehari-hari, dan hal ini harus dipenuhi oleh negara karena dijamin oleh UUD 1945 pasal 29.
  6. Syari’ah Islam mengandung nilai-nilai universal yang juga dikenal penganut agama lain, sehingga bila diterapkan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Syari’ah Islam mampu melindungi seluruh warga negara apapun agamanya.
  7. Siapa saja di antara ummat Islam yang menolak Syari’ah Islam, maka sesungguhnya mereka tergolong munafiq dan melanggar hak asasi manusia (HAM) serta condong kepada kehidupan yang penuh konflik sebagaimana selama ini telah terjadi di Ambon, Maluku, Aceh, Poso dan lain sebagainya.

Maka dalam rangka mewujudkan tujuannya, Majelis Mujahidin besungguh-sungguh berikhtiyar:

  1. Melakukan penggalian, penelitian, perumusan dan sosialisasi khazanah pemikiran hukum Islam yang berkembang.
  2. Melakukan pemantauan dan respons kritis anti sipatif atas dinamika sosial politik yang berkembang di Indonesia dan di dunia internasional.
  3. Mendorong kesiapan ummat agar dapat menjalankan Syari’ah Islam secara efektif.
  4. Menciptakan kondisi yang kondusif bagi penerapan Syari’ah Islam secara damai yakni: Segenap komponen bangsa yang berlainan agama dapat memahami dan merespons secara proporsional maksud dan tujuan ummat Islam.
  5. Memobilisasi dukungan moral mupun meterial dari segenap elemen dunia Islam baik di tingkat nasional, regional maupun internasional demi kepentingan penegakan Syari’ah Islam.

Lahirnya Majelis Mujahidin dengan seruan, “Tathbiqus Syari’ah”, di era reformasi dan pada saat negara Indoneisa ditimpa musibah tiada henti seperti sekarang ini, adalah semata-mata dalam rangka melaksanakan perintah Allah swt dan Rasul-Nya.
Dan alhamdulillah, tidak lama setelah Kongres Mujahidin diselenggarakan, di banyak daerah di Indonesia bermunculan gagasan dan tuntutan masyarakat untuk melaksanakan Syari’ah Islam. Propinsi Sulawesi Selatan dapat disebut sebagai pemrakarsa awal dalam hal ini, dan mendapat dukungan penuh dari seluruh ormas Islam dan disetujui pulah oleh kalangan DPRD. Semangat pelaksanaan Syari’ah Islam kemudian muncul di daerah Tasikmalaya, Jawa Barat. Daerah ini melangkah lebih maju dengan dikeluarkannya Perda anti maksiat dan pornografi, pelarangan minuman keras dan narkoba. Berturut-turut setelah itu, terdengar tuntutan pelaksanaan Syari’ah Islam dari masyarakat Islam di berbagai kabupaten di Jawa Barat, seperti Cianjur, Garut dan lain-lain. Menyusul kemudian Propinsi Riau, Palembang, Banten dan daerah Pamekasan Madura.

Di daerah terakhir ini, tuntutan pelaksanaan Syari’ah Islam, malah di pelopori oleh pemerintah daerah setempat.

Keberanian ummat Islam mengungkapkan aspirasi aqidahnya secara terus terang, berdasarkan keyakinan terhadap supremasi Islam dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur serta melahirkan tata dunia baru yang adil, beradab dan penuh rahmah merupakan realita yang patut kita syukuri. Akan tetapi belum semua elemen masyarakat dapat memahami fenomena sosial yang penuh rahmat ini. Sebab masih ada sementara orang yang memperlihatkan kecurigaan terhadap upaya sosialisasi penegakan Syari’ah Islam. Di antara mereka ada yang bertanya, apakah kehadiran Majelis Mujahidin sebagai firqah baru, sehingga menambah jumlah firqah Islam yang sudah demikian banyaknya? Ada juga yang mengatakan, bukankah kita sudah melaksanakan Syari’ah Islam, (seperti melaksanakan rukun Islam dll.) lalu kepada Syari’ah Islam yang mana lagi Anda mengajak kita? Kami khawatir, jangan-jangan anda malah akan menyimpangkan kita dari jalan Islam yang sebenarnya?

Adanya pertanyaan demikian sebenarnya sesuatu yang lumrah. Yang tidak lumrah adalah, adanya gugatan yang secara ideologis lebih mendasar dari pertanyaan di atas. Mereka, orang-orang yang sebetulnya dikenal peduli terhadap penegakan Syari’ah, tapi belum berani berterus terang, karena merasa bahwa menegakkan Syari’ah Islam di bawah sistem yang bukan sistem Islam, sekalipun penduduk negaranya mayoritas berpenduduk muslim, cukup problematis. Lalu mereka mempertanyakan kesiapan serta konsep real dari para pengusung penegak Syari’ah.

Gugatan mereka bertolah dari retorika dan logika sederhana, tentang taktik dan strategi penegakan Syari’ah Islam. Mereka mengatakan: “Pengusung ide penegakan Syari’ah Islamiyyah di Indoneisa belum menyajikan suatu konsep yang jelas,” dan berdasarkan pada konsep Ilahiyah yang teruji. Sekelompok orang mencoba menuntut penegakan Syari’ah Islamiyah atas dasar bendera nasional (bersamaan dengan tuntutan otonomi daerah), sementara sekelompok yang lain bergerak di bawah bendera moral dan sosial (dengan membentuk institusi moral/sosial dalam rangka usaha sosialisasi ide dan teori penegakan Syari’ah Islamiyah. Oleh karena itu kata mereka selanjutnya, “Para pengusung ide penegakan Syari’ah Islamiyah dituntut untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan tathbiqus Syari’ah Islamiyah tersebut. Apakah itu bermakna penegakan Syari’ah Islamiyah atas dasar bendera otonomi daerah (yang berarti meletakkan Syari’ah Islamiyah sebagai sub sistem di bawah sistem bukan Islam), atau sekedar sosialisasi teori penegakan Syari’ah Islamiyah, atau ada makna lain yang konsepsional dan sesuai dengan sistem Ilahiyah yang teruji?

Selain pertanyaan dan gugatan yang secara husnudhan kita pandang sebagai wujud keingintahuan masyarakat, kehadiran Majelis Mujahidin juga disikapi secara sangat kritis oleh sebagian kalangan, bahka secara apriori mendakwa Majelis Mujahidin telah melenceng arah penegakan Syari’ah dari yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri. Mereka memandang Majelis Mujahidin telah menyempitkan makna penerapan Syari’ah, karena mengidentikkan penerapan Syari’ah dengan pelaksanaan hudud dan hukum pidana saja. Tidak cukup itu saja, orang-orang ini juga menuduh, bahwa sasaran juang dari penegakan Syari’ah ini hanya bersifat politis, agar ummat Islam mendapatkan kekuasaan sekalipun harus dilakukan dengan menghalalkan segala cara. Lebih jauh mereka menganggap orang-orang yang mengumandangkan Tathbiqus Syari’ah ini tidak memiliki komitmen yang tinggi terhadap sunnah.

Demikianlah, berbagai prasangka dan kritik dilontarkan oleh mereka. Segala kritikan itu, harus diterim dengan lapang dada, dan perlu mendapatkan perhatian sebagai alat muhasabah dan secara husnudhan, sekali lagi, hal itu harus dipahami sebagai wujud keingintahuan masyarakat karena itu mereka berhak mendapatkan penjelasan.

Berdasarkan hal-hal di atas itulah, maka sosialisasi penegakan Syari’ah Islam dirasakan urgensinya. Oleh karena itu, amatlah penting untuk segera mempublikasikan “Karakteristik Majelis Mujahidin,” sehingga masyarakat luas dapat mengenali segala sesuatunya mengenai Majelis Mujahidin, tanpa dibarengi rasa curiga atau pun sikap apriori. Mudah-mudahan upaya sosialisasi informasi melalui penerbitan risalah berjudul, “Mengenal Majelis Mujahidin” ini , yang memang sengaja disusun secara sederhana supaya mudah dipahami oleh kalangan masyarakat luas dapat mencapai sasarannnya, yaitu memberikan penjelasan tentang aqidah, visi dan misi Majelis Mujahidin.

Akhirnya, kepada Allah kita memohon pertolongan dan kepada-Nya jua, kita menggantungkan segala harapan. Semoga Allah senantiasa menolong hamba-Nya, dengan menganugerahkan hati yang sabar, jiwa yang istiqamah serta akhlaq yang mulia kepada setiap muslim mujahid yang berjuang untuk tegaknya Syari’ah Islam di bumi ini. Amin, Ya Mujibassailin.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.