Beranda Risalah Mujahidin Wijhah/Opini Pertarungan Politik 2024 Rivalitas Merah dan Merah Putih

Pertarungan Politik 2024 Rivalitas Merah dan Merah Putih

0
Pertarungan Politik 2024 Rivalitas  Merah dan Merah Putih

Ada yang menarik dari tuturan Andi Widjajanto anak mendiang Theo Safii mantan kolega Megawati di PDIP. Setidaknya dalam bulan Novemver 2023, dua kali beliau berbicara bertema politik di dua potcast berbeda. Pertama pada potcast Abraham Samad mantan Ketua KPK, dengan tajuk Abraham Samad Speak Up. Yang kedua bersama Akbar Faisal, rekannya sesama pendukung Jokowi di awal pemerintahan tahun 2014.

Andi adalah mantan Gubernur Lemhanas yang minta pensiun dini untuk bergabung dengan Team Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud. Dalam pembicaraannya di dua potcast tersebut, yang bersangkutan terkesan sangat kecewa pada presiden Jokowi yang dinilai telah berubah dari ideologi merah. Bersama Andi ada ribuan kader PDIP lainnya menuduh Jokowi berkhianat pada partai yang telah membesarkannya. Kekecewaan itu tidak saja karena Jokowi ogah mendukung Ganjar Capres resmi usungan partai, tetapi juga karena Jokowi dianggap menghianati konstitusi dengan memperalat MK untuk memuluskan Gibran yang belum cukup  umur, tampil menjadi Cawapres Prabowo pada Pilpres 2024.

Menurut Andi, pemilu 2024 adalah pertarungan ideologi dimana Jokowi tidak lagi cocok dengan merah, sebutan untuk PDIP. Dia menyampaikan kebingungannya dengan langkah politik Jokowi yang justru menggaet Prabowo. “Saya akan lebih mengerti ya, beneran saya akan lebih mengerti, kalau pak Jokowi secara ideologi nggak lagi cocok dengan merah, secara program nggak lagi cocok dengan merah lalu nggabungnya ke Anis. Saya lebih ngerti hehe, lebih bisa dipahami ngerti karena di sana mengusung perubahan,” Katanya.

Andi pun menjelaskan, sesungguhnya Jokowi sosok unpredictable, yang sukar ditebak. Alasannya mengusung Prabowo tidak dapat pembenaran secara ideologis, karena gagasan politik Prabowo justru sejalan dengan langkah politik pemerintah yang didukung PDIP. Begitu juga dengan nama koalisinya sama dengan nama Koalisi Indonesia Maju, “Sama persis,” katanya. Jadi alasan dukungan tersebut bukan alasan ideologi. Tapi lebih pada alasan personal. Kalau alasan ideologi menurutnya mestinya yang diusung Anis-Gibran. Begitu pak Jokowi mengusung Prabowo-Gibran, Andi mempertanyakan alasan ideologinya.

Ada kecendrung pilpres 2024 menjadi ajang pertarungan ideologi. Anggapan ini didasari pada analisanya sebagai Gebernur Lemhanas, lembaga yang memberikan masukan strategis kepada Presiden. Andi juga merangkap sebagai penasehat politik utama ketua umum PDIP Megawati Sukarno Putri. Senada dengan Andi, mantan ketua BIN Hendropriono pernah menyebutkan pemilu 2019 sebagai pertarungan ideologi. Artinya ada arus besar yang menggiring pilpres 2024 kembali ke arah pertarungan ideologi. Setidaknya kecemasan Andi menyeruak melalui analisisnya, dengan  perubahan sikap politik Jokowi membawa konsekuensi besar pada PDIP dan pilpres 2024.

Berdasarkan penuturan Andi dapat ditarik kesimpulan bahwa: Pertama, PDIP memandang Indonesia telah berhasil mencapai tahap demokratisasi, setidaknya selama hampir dua periode kepemimpinan Jokowi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang makin stabil menandai peluang munculnya Indonesia sebagai negara maju di tahun 2045. Peningkatan PDB dari US$ 4500 ke angka US$ 6700, bonus demografi, dan Indonesia berhasil melewati tahapan transisi serta konsolidasi demokrasi melalui tujuh kali pemilu sejak reformasi. Tetapi, sebagai presiden yang lahir dari proses demokrasi, Jokowi justru memasang barikade ketika ada celah bangsa ini melompat menjadi negara maju. Langkah politik Jokowi bagi PDIP merupakan awan gelap menutupi wajah demokrasi Indonesia. Dan menurut Andi, hanya Jokowi yang dapat mengangkat barikade itu.

Kedua, ada semacam kekhawatiran bahwa dukungan Jokowi pada Prabowo karena faktor Gibran akan menggerus suara PDIP di akar rumput. Sebab dalam peta politik PDIP, ceruk suara yang tadinya dikuasai oleh PDIP secara maksimal, bakalan direbut oleh Prabowo melalui sosok Jokowi. Di samping itu,  PDIP yang telah mengusung Jokowi selama dua periode tahu betul, bahwa Jokowi akan menggunakan seluruh kekuatan negara untuk memenangkan Prabowo-Gibran seperti yang pernah dilakukan pada pilres 2019. PDIP meyakini Ganjar-Mahfud Capres  yang mereka dukung pada pilpres 2024 akan menjadi korban berikutnya dari permainan politik Jokowi, seperti apa yang pernah dialami Prabowo di tahun 2019. Kemungkinan ini tentu sangat menyakitkan bagi PDIP. Bak senjata makan tuan, PDIP dilukai oleh figure yang telah mereka dukung dan besarkan. Dan dugaan itu terlihat nyata, beberapa saat lalu ketika Jokowi berkunjung ke Bali, semua baliho dan poto Capres Ganjar diturunkan secara paksa.

Ketiga, Andi ingin menggiring opini bahwa PDIP adalah partai demokratis yang gigih menjaga konstitusi dari kebijakan anti demokrasi yang tengah dijalankan oleh Jokowi. Hal ini  juga diperkuat oleh tudingan politisi PDIP lainnya seperti Masinton dan Adian Napitupulu. Mereka menyebut, Jokowi pernah minta tiga priode dan perpanjangan masa jabatan presiden yang langsung ditolak oleh PDIP karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Tidak sekedar berapologis, PDIP malah pingin cuci tangan dari semua langkah politik Jokowi yang diduga menyimpang dari konstitusi. Padahal seluruh rakyat Indonesia tahu, PDIP adalah partai pendukung utama pemerintah. Bahkan orang seperti Andi Widjajanto berada di inner circle atau ring satu presiden. Kalau punya niat baik, mestinya PDIP dapat menggunakan kekuatan politik minimal di parlemen, untuk mencegah langkah presiden yang dipandang menyimpang seperti UU Cipta Kerja, RUU HIP, penggusuran rempang dan lain-lain. Tetapi justru daya kritis PDIP baru muncul ketika Jokowi mengalihkan dukungan pada Capres lain yang berbeda dengan pilihan partai PDIP. Seperti kebakaran jenggot, kader-kader PDIP lantang bersuara menyerang Jokowi.

Keempat, sebagai partai yang mengaku ideologis, PDIP menghindari perang ide dan gagasan yang tengah diusung Anis bersama partai Nasdem. Perang gagasan kini menjadi tren politik baru yang menarik. Seperti kata sekjen PDIP Hasto, partainya adalah partai kiri. Sebagaimana di Eropah Timur dan Amerika Latin era perang dingin, partai kiri terbiasa menjual ideologi yang sangat subjektif. PDIP juga sama, menjual jargon wong cilik, sementara kebijakan politik pemerintah seperti mencabut subsidi BBM, menaikkan harga gas, TDL, harga sembako yang makin tinggi, kenaikan iuran jaminan sosial dan lain-lain justru sangat memberatkan wong cilik.

PDIP nyaris tidak punya literasi politik bagaimana menyeimbangkan antara kebijakan pemerintah terhadap nation interest. Bagaimana harus menjinakkan oligarki rakus berhadapan dengan tanggungjawab pada kesejahteraan rakyat. Dan bagaimana mengawal pembangunan agar tidak dibajak oleh para kapitalis. Ideologi adalah sesuatu yang bersifat utopis, sementara keadilan dan kesejahteran merupakan hal-hal yang kongkrit. Di titik ini, PDIP sebagai partai tidak memiliki kemampuan yang cukup, baik ide maupun gagasan untuk mengantarkan rakyat Indonesia pada tujuan bernegara. Yaitu gagasan Merah-Putih yang disebut nation interest. Bagaimana negara harus hadir melindungi segenap rakyat Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan politik pemerintah Jokowi sebagai kader partai merah (PDIP) malah menunjukkan sikap berlawanan dengan nation interest. PDIP masih coba bermain di tataran emosional dengan memanfaatkan keawaman rakyat. Sesungguhnya cara ini sudah kuno dan tidak relevan dengan kondisi sosial-politik kontemporer.

Kelima, PDIP ingin memposisikan diri sebagai flaying victim dibalik langkah politik Jokowi yang diduga telah melakukan abuse of power. Padahal sesunguhnya rakyat lah selama hampir dua periode kekuasaan yang menjadi korban langsung dari kebijakan presiden bila dianggap tidak proporsional. Triks ini sangat mudah dibaca dan tentu tidak banyak manfaatnya untuk mendongkrak suara PDIP di legislatif maupun Capres yang mereka usung. Rakyat lebih melihat platform yang diusung Ganjar dan Prabowo hampir sama. Tidak ada yang baru, program IKN, hilirisasi, Proyek Strategis Nasional (PSN), infra struktur, semua untuk saat ini hampir sama pada dua pasang calon Ganjar-Mahfud dan Prabowo-Gibran. Kalau kepingin yang baru, Anis tentu lebih tepat dan menjanjikan perubahan.

Keenam, PDIP terkesan keberatan terhadap program Gibran yang mengandalkan kartu sakti, seperti kartu lansia, kartu pintar, kartu milenial, Indonesia sehat dan lain-lain, yang diklaim sebagai milik PDIP. Kartu-kartu tersebut berasal dari konsep nawacita Bung Karno kemudian menjadi program Jokowi. Jadi kalau Jokowi-Gibran sudah “menyeberang,” tidak lagi merah, kurang pantas menggunakan program tersebut di tempat lain.

Sebenarnya sejak awal, kelompok oposisi cerdas memandang kartu-kartu tersebut termasuk BLT yang telah ada di era SBY adalah bentuk ketidakmampuan pemerintah menghadapi oligarki dan kapitalis yang menguasai kekayaan alam Indonesia. Jika negara berdaulat, seharusnya mampu menekan oligarki,  kemudian mengkonversi kekayaan alam yang dikuasai oligarki untuk mensejahterakan rakyat. Jadi bukan malah membiarkan rakyat antre untuk menerima BLT seperti para pengemis dari sebuah negara auto pilot. Di tengah negara kaya dan subur, justru rakyat Indonesia sulit memperoleh pekerjaan hingga harus hidup di bawah garis kemiskinan. Rakyat tidak memiliki tanah bahkan untuk tempat tinggal, tetapi pengusaha kakap diberi konsesi lahan jutaan hektar selama 190 tahun. Sementara rakyat yang memiliki lahan seperti di Rempang, malah mau digusur dengan dalih Proyek Strategis nasional. Negara tidak tampil pada saat rakyat membutuhkan. Ini problem Indonesia yang tak tuntas hampir dua periode kekuasaan Jokowi.

Ketujuh, dari penuturan Andi, PDIP menolak mengimpeach Jokowi, rumor yang ramai dibincang publik saat ini. Menurutnya, Jokowi telah melakukan abuse of power dengan memanfaatkan MK. Namun langkah memakzulkan juga merupakan semacam abuse of power. Kita tidak mungkin melakukan hal yang sama dengan kesalahan yang dilakukan presiden. Terlalu mahal bagi bangsa yang telah mengalami konsolidasi demokrasi. Artinya bangsa ini tidak tepat memutus mata rantai demokratisasi yang sedang berjalan. Dan merupakan tanggung jawab kita untuk menjaga proses ini, jelasnya.

Impeachment atau pemakzulan adalah jalan legal dan konstitusional untuk mengembalikan kedaulatan rakyat bila presiden berkhianat. Persoalannya PDIP tidak punya keberanian melakukan itu. Padahal kalau PDIP berkenan, kekuatannya ditambah  partai yang berada di barisan Nasdem, PKB dan PKS, sudah cukup 2/3 dari jumlah anggota parlemen, kekuatan maksimal untuk menempuh langkah impeachment. Cara berfikirnya mesti dibalik, justru tanpa Jokowi, pemilu akan lebih luber bebas dari cawe-cawe presiden.

Lantas langkah apa yang dapat menyelamatkan Indonesia? Pertama, kembalikan kedaulatan pada rakyat dengan parlemen yang kuat tanpa intimidasi. Kedua laksanakan pemilu tanpa campur tangan pemerintah. Berikutnya, kembalikan kekuasaan yudikatif pada proporsi keadilan bebas konflik kepentingan. Dan terakhir, rakyat harus menjadi pemilih cerdas dengan melihat ide dan gagasan para Capres, apakah menempatkan nation interest sebagai dasar program, atau sekadar jualan ideologi atau politik identitas yang serba utopis dan fatamorgana.

Binjai, 13 November 2023

Zulkarnain, M.Sos

Pimpinan Pusat Majelis Mujahidin dan Pengamat Sosial-Politik

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.