31.7 C
Jakarta
Jumat, 29 Maret 2024

Menguak Kesesatan Syi’ah

Oleh : Ustadz Drs. Muhammad Thalib
Amir Majelis Mujahidin

Dalam suatu demonstrasi yang dipimpin Imam Khomeini pada tahun 1979, Shah Iran, Mohammed Reza Pahlevi, berhasil ditumbangkan. Inilah revolusi Syi’ah yang melahirkan Republik Islam Iran. Namun, secara mengejutkan Imam besar Syi’ah, Musa al-Musyawi, menganggap Khomeini itu kafir. Karena, Khomeini membuat doktrin yang tidak pernah dikenal dalam ajaran Syi’ah. Doktrin tersebut adalah wilayatul faqih, yakni kekuasaan tertinggi Syi’ah berada di tangan seorang faqih, yaitu Khomeini sendiri.

Pada hakikatnya Syi’ah lahir dari rahim kebencian terhadap Islam. Karena, akidah Syi’ah sesungguhnya berdiri di atas dusta dan kebencian pada Nabi dan para shahabatnya. Lalu, mengapa dan ada apa dengan agama Syi’ah?

Syi’ah merupakan sebuah ordo agama yang tidak bisa dipisahkan dari mut’ah (kawin kontrak). Benihnya mulai tumbuh pada akhir masa kekhalifahan Abû Bakar ash-Shiddîqradhiyallâhu ’anhu, tidak lama setelah wafatnya Rasulullah Shallallâhu ’alayhi wasallam. Ditanam dan dirawat oleh Abdullah bin Sabâ’ yang berasal dari keturunan Yahudi dengan melemparkan dua isu. Pertama, setiap rasul memiliki pewaris kerasulan. Sebagaimana Musa pewarisnya Hârûn, maka Muhammad pewarisnya ’Alî dan keturunan tertentu dari ’Alî. Kedua, para imam dari keturunan tertentu tadi bersifat maksum. Karena itu, tiga orang khalifah sebelum ‘Ali dianggap bukan pewaris kerasulan Muhammad Shallallâhu ’alayhi wasallam. Maka, kekhalifahan mereka dianggap batal. Akhirnya, mereka menuduh semua shahabat, kecuali lima orang shahabat Nabi (yaitu Salman al-Fârisi, Sûhaib ar-Rûmî, Abû Mûsâ al-Asy’arî, Abû Dzar al-Ghîfarî, dan ’Amar bin Yasîr) sebagai orang-orang kafir.

Pada masa kekhalifahan Abû Bakar Shiddîq dan kemudian diganti ‘Umar bin Khaththâb, intrik Abdullah bin Sabâ’ yang menghembuskan fanatisme jahiliyah tidak dapat tumbuh subur. Selain reputasi kepemimpinan keduanya hampir tak tercela, juga karena jumlah para shahabat Nabi masih cukup banyak. Akan tetapi, pada pengujung masa kekhalifahan Utsman bin Affan, mayoritas kaum Muslimin merupakan generasi baru. Mereka belum seratus persen memahami Islam secara benar, khususnya pemeluk Islam di Persia, Mesir, dan Afrika bagian Utara. Dari kalangan mereka inilah doktrin Abdullah bin Sabâ’ mendapat sambutan antusias.

Oleh karena itu, segala pemikiran keagamaan yang lahir dari kondisi ini mencerminkan pertentangan, bahkan permusuhan dengan Islam. Mereka sama sekali tidak menghargai otentisitas al-Qur`an dan kebersihan para shahabat Nabi. Keyakinan bahwa di dunia ini manusia yang memiliki sifat maksum hanya nabi dan rasul ditolak secara hina. Mullah Fathullah al-Kasânî, seorang ulama Syi’ah, dalam kitab tafsirnya Minhajus Shâdiqînhalaman 356 menyatakan: “Menghalalkan nikah Mut’ah, bahkan menurut doktrin Syi’ah orang yang melakukan kawin mut’ah empat kali derajatnya sama tingginya dengan Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wasallam.”

Dalam pandangan orang-orang berakal, ucapan demikian tentulah menjijikkan. Hanya bermodal syahwat belaka, seseorang dianggap lebih mulia, bahkan dibandingkan Nabi sekalipun! Menganggap pelaku mut’ah lebih mulia daripada Nabi Shallallâhu ’alayhi wasallam, seakan mereka mengatakan bahwa kemaluan para pelacur lebih mulia dari Nabi dan para shahabat! Na’ûdzubillahi min dzâlik, la’natullâh ’alâ Syi’ah.

Tidak cukup hanya sekadar menghina Nabi Muhammad Shallallâhu ’alayhi wasallam, bahkan Allah Subhânahu wata’âlâ juga dinista dengan mengatakan Allah bersifat al-bada’ yaitu tidak tahu hal yang akan terjadi. Sebagaimana dikatakan ulama besar ahli hadis Syi’ah, al-Kûlaini: “Allah itu bersifat bada’ yaitu baru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi. Akan tetapi, para imam Syi’ah telah mengetahui lebih dahulu hal yang belum terjadi” (Ushûlul Kâfî hlm. 40).

Menurut al-Kûlaini, Allah tidak mengetahui bahwa Husein bin ’Alî akan mati terbunuh. Dia berkeyakinan bahwa pada mulanya Tuhan tidak tahu, sehingga Tuhan membuat ketetapan baru sesuai dengan kondisi yang ada. Sebaliknya, imam Syi’ah dianggap telah mengetahui apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, menurut doktrin Syi’ah, Allah bersifat bada’ (Ushûlul Kâfî hlm. 232).

Terhadap para shahabat Nabi, kaum Syi’ah memandang mereka sebagai penjahat, pengkhianat, perusak agama, dan penilaian keji lainnya. Dalam hal ini, Muhammad Baqîr al-Majlîsî menulis dalam kitab Haqqul Yaqîn, hlm. 519: “Abû Bakar, ‘Umar, Utsman bin ’Affan, Muâwiyah, ’Aisyah, Hafshah, Hindûn, dan Ummul Hakâm adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi ini. Mereka adalah musuh-musuh Allah. Barangsiapa yang tidak memusuhi mereka maka tidaklah sempurna imannya kepada Allah, Rasul-Nya dan imam-imam Syi’ah.”

Dendam lama Yahudi dan Persia terhadap Islam, yang dimodifikasi menjadi ajaran Syi’ah, merupakan alat indoktrinasi guna menghancurkan Islam dan membangun agama Syi’ah. Untuk kepentingan ini, Syi’ah menggunakan pola rasionalisme, yaitu mengembalikan kebenaran kepada akal. Dalam praktiknya, segala kebenaran agama dikontrol dengan akal. Apa saja yang tidak sesuai dengan akalnya ditolak. Tujuannya, menciptakan keragu-raguan terhadap Qur`an, hadis, dan kejujuran para shahabat Nabi. Lalu, mereka ganti dengan doktrin imam yang maksum.

Dengan pola ini, sudah banyak generasi muda Islam yang disesatkan. Bentuk kesesatannya seperti di bawah ini.

  1. Berkeyakinan para imam Syi’ah maksum dan derajatnya lebih tinggi dari Rasul;
  2. Al-Qur`an yang ada sekarang tidak asli, alias palsu;
  3. Para shahabat semuanya berdusta dan berkhianat kepada Nabi Shallallâhu ’alayhi wasallam kecuali beberapa orang;
  4. Semua hadis yang dianggap sahih dalam kitab hadis kaum Muslimin dianggap palsu;
  5. Khalifah selain dari ’Alî adalah penjahat, karena merebut kekuasaan kekhalifahannya.

Indoktrinasi seperti di atas mengakibatkan banyak intelektual Islam yang dangkal pemahamannya terhadap Islam, tetapi berlagak sok ilmiah dan rasionalis, secara membabi buta menelan semua indoktrinasi Syi’ah tersebut. Hal ini dapat dilacak, misalnya, pada buku-buku Jalaluddin Rahmat, juga Quraisyi Shihab yang dengan lihai dan santun mempropagandakan Syi’ah seperti dalam bukunya Sunnah-Syi’ah Bergandengan Tangan, Mungkinkah? (penerbit Lentera Hati, Jakarta). Termasuk dalam kelompok ini, pujian Amien Rais terhadap Khomeini dan ‘Ali Syari’ati yang dapat dibaca dalam buku Satu Islam Sebuah Dilema (penerbit Mizan, Bandung).

Jalur pertemuan antara doktrin Syi’ah dan Zionisme bisa dilacak melalui sikap antipati terhadap al-Qur`an karena membongkar seluk beluk kejahatan Yahudi dan Ahlul-Kitab. Yahudi menolak kenabian Muhammad Shallallâhu ’alayhi wasallam karena bukan dari keturunan bangsa Israel, begitu pula Syi’ah yang kental dengan darah Persia membenci Islam karena dibawa oleh bangsa Arab yang meruntuhkan imperium Persia. Mereka sama-sama mempertahankan doktrin paganisme penyembah berhala.

Dengan melihat background Yahudi dan Persia—yang secara historis-sosiologis memusuhi bangsa Arab dengan Islam dan Rasul dari kalangan etnis ini—menjadi mudah dipahami mengapa Syi’ah dan Yahudi serta Zionisme tidak rela melihat Islam tumbuh dan berpengaruh di dunia ini.

Ada tujuh belas doktrin Syi’ah yang selalu mereka sembunyikan dari kaum Muslimin sebagai langkah taqiyyah (menyembunyikan Syi’ahnya) sebagai berikut.

  1. Dunia dengan seluruh isinya adalah milik para imam Syi’ah. Mereka akan memberikan dunia ini kepada siapa yang dikehendaki dan mencabutnya dari siapa yang dikehendakinya (al-Kulainî, Ushûlul Kâfi, hlm. 259, cet. India). Jelas doktrin semacam ini bertentangan dengan firman Allah Subhânahu wata’âlâ, surat al-A’râf [7]: 128: “Sesungguhnya bumi adalah milik Allah, Dia karuniakan kepada siapa yang Dia kehendaki.” Kepercayaan Syi’ah di atas menunjukkan penyetaraan kekuasaan para imam dengan Allah dan doktrin ini merupakan akidah syirik.

  2. ‘Ali bin Abî Thâlib yang diklaim sebagai imam Syi’ah yang pertama dinyatakan sebagai dzat yang pertama dan terakhir, yang zhahir dan yang batin sebagaimana termaktub dalam surat al-Hadîd [57]: 3 (Rijâlul Kashi hlm. 138). Doktrin semacam ini jelas merupakan kekafiran Syi’ah yang berdusta atas nama Khalifah ‘Ali bin Abî Thâlib. Dengan doktrin semacam ini Syi’ah menempatkan ‘Ali sebagai Tuhan. Dan hal ini sudah pasti merupakan tipu daya Syi’ah terhadap kaum Muslimin dan kesucian akidahnya.

  3. Para imam Syi’ah merupakan wajah Allah, mata Allah, dan tangan-tangan Allah yang membawa rahmat bagi para hamba Allah (Ushûlul Kâfi hlm. 83).

  4. Amirul Mukminin ‘Ali bin Abî Thâlib oleh Syi’ah dikatakan menjadi wakil Allah dalam menentukan surga dan neraka, memperoleh sesuatu yang tidak diperoleh oleh manusia sebelumnya, mengetahui yang baik dan yang buruk, mengetahui segala sesuatu secara rinci yang pernah terjadi dahulu maupun yang gaib (Ushûlul Kâfi hlm. 84).

  5. Keinginan para imam Syi’ah adalah keinginan Allah juga (Ushûlul Kâfi hlm. 278).

  6. Para imam Syi’ah mengetahui kapan datang ajalnya dan mereka sendiri yang menentukan saat kematiannya karena bila imam tidak mengetahui hal-hal semacam itu, maka tentu ia tidak berhak menjadi imam (Ushûlul Kâfi hlm. 158).

  7. Para imam mengetahui apa pun yang tersembunyi dan dapat mengetahui dan menjawab apa saja bila kita bertanya kepada mereka karena mereka mengetahui hal gaib sebagaimana yang Allah ketahui (Ushûlul Kâfi hlm. 193).

  8. Allah itu bersifat bada’ yaitu baru mengetahui sesuatu bila sudah terjadi. Akan tetapi, para imam Syi’ah telah mengetahui lebih dahulu hal yang belum terjadi (Ushûlul Kâfi hlm. 40). Menurut al-Kulainî, Allah tidak mengetahui bahwa Husein bin ‘Ali akan mati terbunuh. Menurut mereka Tuhan pada mulanya tidak tahu, karena itu Tuhan membuat ketetapan baru sesuai dengan kondisi yang ada. Akan tetapi, imam Syi’ah telah mengetahui apa yang akan terjadi. Oleh sebab itu, menurut doktrin Syi’ah, Allah bersifat bada’ (Ushûlul Kâfi hlm. 232).

  9. Para imam Syi’ah merupakan gudang ilmu Allah dan juga penerjemah ilmu Allah. Para imam bersifat maksum (bersih dari kesalahan dan tidak pernah lupa apalagi berbuat dosa). Allah menyuruh manusia untuk menaati imam Syi’ah, tidak boleh mengingkarinya, dan mereka menjadi hujjah (argumentasi kebenaran) Allah atas langit dan bumi (Ushûlul Kâfi hlm. 165).

  10. Para imam Syi’ah sama dengan Rasulullah Shallallâhu ’alayhi wasallam (Ibid).

  11. Yang dimaksud para imam Syi’ah adalah ‘Ali bin Abî Thâlib, Husein bin ‘Ali, Hasan bin ‘Ali, dan Muhammad bin ‘Ali (Ushûlul Kâfi hlm. 109).

  12. Al-Qur`an yang ada sekarang telah berubah, dikurangi, dan ditambah (Ushûlul Kâfihlm. 670). Salah satu contoh ayat al-Qur`an yang dikurangi dari aslinya yaitu ayat al-Qur`an an-Nisâ’ [4]: 47, menurut versi Syi’ah berbunyi: “Yâ ayyuhalladzîna ûwtul kitâba âminû bimâ nazzalnâ fî ’Aliyyin nûranmubînan” (Fashlul Khithâb,hlm. 180)

  13. Menurut Syi’ah, al-Qur`an yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad ada 17 ribu ayat, namun yang tersisa sekarang hanya 6660 ayat (Ushûlul Kâfi hlm. 671)

  14. Menyatakan bahwa Abû Bakar, ‘Umar, Utsman bin Affan, Muâwiyah, ’Aisyah,Hafshah, Hindûn, dan Ummul Hakâm adalah makhluk yang paling jelek di muka bumi; mereka ini adalah musuh-musuh Allah. Barangsiapa yang tidak memusuhi mereka, maka tidaklah sempurna imannya kepada Allah, Rasul-Nya, dan imam-imam Syi’ah (Haqqul Yâqîn hlm. 519 oleh Muhammad Baqîr al-Majlisî).

  15. Menghalalkan nikah Mut’ah, bahkan menurut doktrin Syi’ah orang yang melakukan kawin Mut’ah empat kali derajatnya sama tingginya dengan Nabi MuhammadShallallâhu ’alayhi wasallam (Tafsîr Minhajush Shâdiqîn hlm. 356, oleh Mullah Fathullah Kasanî).

  16. Menghalalkan tukar-menukar budak perempuan untuk disetubuhi kepada sesama temannya. Kata mereka, Imam Ja’far berkata kepada temannya, “Wahai Muhammad, kumpulilah budakku ini sesuka hatimu. Jika engkau sudah tidak suka kembalikan lagi kepadaku” (Al-Istibshar III hlm. 136 oleh Abû Ja’far MuhammadHasan ath-Thûsî).

  17. Rasulullah dan para shahabat akan dibangkitkan sebelum hari kiamat. Imam Mahdi, sebelum hari kiamat, akan datang dan dia membongkar kuburan Abû Bakar dan ‘Umar yang ada di dekat kuburan Rasulullah. Setelah dihidupkan, kedua orang ini akan disalib. (Haqqul Yaqîn hlm. 360 oleh Mulla Muhammad Baqîr al-Majlisî).

Ketujuh belas doktrin Syi’ah di atas, apakah dapat dianggap sebagai akidah Islam sebagaimana dibawa oleh Rasulullah Shallallâhu ’alayhi wasallam dan dipegang teguh oleh para shahabat serta kaum Muslimim yang hidup sejak zaman tabi’in hingga sekarang? Adakah orang masih percaya bahwa Syi’ah itu bagian dari umat Islam? Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad, barangsiapa yang tidak mengafirkan akidah Syi’ah ini, maka dia termasuk kafir.

Kitab-kitab tersebut di atas adalah kitab-kitab induk atau rujukan pokok kaum Syi’ah yang posisinya seperti halnya kitab-kitab Hadis Imam Bukhârî, Muslim, Ahmad bin Hambal, Nasâ’i, Tirmidzî, Abû Dawud, dan Ibnu Majah bagi kaum Muslimin. Oleh karena itu, dengan tegas harus ditolak upaya-upaya untuk menanamkan kesan bahwa Syi’ah adalah bagian dari kaum Muslimin, hanya berbeda dalam beberapa hal yang tidak prinsip.


Latest news

- Advertisement -spot_img

Related news

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.