Khutbah Idul Adha 1444 H / 2023 M
MERINTIS JALAN PERUBAHAN
Oleh Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لَاإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ. اَلْحَمْدُ للهِ الًّذِيْ أَمَرَنَا بِالتَّقْوَى وَ نَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى. أَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ نِعْمَ الْوَكِيل وَنِعْمَ الْمَوْلَى، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَ صَلَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا وَ حَبِيْبِنَا الْمُصْطَفَى، مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الْهُدَى وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدقِ وَ الْوَفَا
اَمَّا بَعْدُ: فَيَاأيُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمْ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ. وقَالَ أَيْضاً إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ، اللهُ أَكْبَرُ ، اللهُ أَكْبَرُ وللهِ الحَمْدُ
Senantiasalah kita bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah menunjukkan jalan Islam kepada kita, dan menurunkan syari’at Islam sebagai rahmatan lil alamin. Syariat Islam merupakan sistem hidup terbaik yang telah dirintis oleh para Nabi dan Rasul-Nya, dan diikuti oleh manusia yang mendapat karunia Ilahy.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia pilihan yang menjadi juru bicara Ilahy untuk menjelaskan kehendak Allah; tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupan dunia secara benar dan berfaedah, sehingga memperoleh kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Di pagi hari, tanggal 10 Dzulhijjah 1444 H, bertepatan dengan tanggal 28 Juni 2023 M ini, kita berkumpul disini untuk menunaikan shalat Idul Adha. Baru saja kita ruku’ dan sujud sebagai pernyataan tunduk dan taat kepada Allah Rabbul Alamin. Lalu kita kumandangkan takbir, tahmid dan tahlil, sebagai pengakuan dan pengagungan asma Allah subhanahu wa ta’ala. Kalimat takbir, tahmid dan tahlil yang kita ucapkan, bukanlah sekadar gerak bibir tanpa makna. Akan tetapi merupakan wujud pengakuan dalam hati, menyentuh dan mmenggetarkan relung jiwa manusia mukmin.
Oleh karena itu, melalui mimbar ini khatib menyeru diri pribadi dan segenap jamaah shalat ‘Id sekalian, marilah kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana seruan Al-Qur’an:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَابْتَغُوْٓا اِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَجَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهٖ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai kaum mukmin, takutlah kepada Allah. Tempuhlah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan beramal shalih. Berjuanglah kalian untuk membela Islam, niscaya kalian akan beruntung di akhirat.’’ (QS Al-Ma’idah [5] : 35)
Pendidikan Keshalihan
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ
Setiap kali memasuki bulan Dzulhijjah, mengingatkan umat Islam pada 2 peristiwa agung yang terjadi dalam lintasan sejarah kenabian.
Pertama, adalah ibadah haji. Kewajiban ibadah Haji, rukun Islam ke lima, berawal dari perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Ibrahim:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيق
“Wahai Ibrahim, umumkanlah ke¬pada semua manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang cekatan dari tempat-tem¬pat yang jauh.” (Qs. Al-Hajj [22]: 27)
Seruan untuk menunaikan ibadah haji yang diserukan oleh Nabi Ibrahim telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan disambut oleh berjuta-juta umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Haji merupakan simbol tauhid, napak tilas terhadap jejak bersejarah dan spiritual dari Nabi Ibrahim, Ismail, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah Haji menunjukkan ketaatan sekaligus pengorbanan. Hanya umat Islam yang taat dan kuat tekadnya yang mau berkorban untuk Haji. Sedang mereka yang lemah keyakinannya tidak akan mau berangkat menunaikan ibadah Haji sekalipun memiliki kelapangan rezeki dan sehat badannya.
Kronologi pelaksanaan Ibadah haji dimulai tanggal 8 Dzulhijjah, para jamaah haji dari seluruh dunia berangkat dari Makkah menuju Mina. Pada pagi hari, tanggal 9 Dzulhijjah, menuju padang Arafah, untuk melaksanakan wukuf setelah tergelincir matahari. Pada malam harinya para tamu Allah ini mabit di Muzdalifah dan mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Begitulah tertib pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun oleh umat Islam.
Peristiwa kedua, adalah penyembelihan hewan qurban. Hari ini, 10 Dzulhijjah 1444 H kita melaksanakan shalat sunnah Idul Adha, merupakan hari besar keimanan dan kemanusiaan, yang diangkat dari sejarah dan kisah perjalanan keluarga teladan, walau ribuan tahun kejadiannya telah berlalu, yaitu keluarga Ibrahim As.
Idul Adha atau yaumun Nahr dirayakan, ditandai dengan syiar penyembelihan hewan qurban untuk mengingatkan kita pada sosok seorang Nabi dan ayah sekaligus, Ibrahim ‘alaihissalam. Juga tentang Hajar, seorang Ibu, seorang istri yang menjadi figur sentral dalam peristiwa bersejarah ini. Dari Hajar mengalir kisah mulia tentang iman, ketaatan dan keluarga bahagia.
Hadirnya Hajar, ibu dari Ismail, menghantarkan kisah Ibrahim As menjadi hikmah yang aliran maknanya tidak pernah berhenti, laksana mata air zam-zam yang mengalirkan airnya tanpa henti. Dari rahimnya ditakdirkan lahir Ismail bin Ibrahim, buah dari do’a sang ayah:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, karuniakanlah anak yang shalih kepadaku.” (Qs. Ash-Shaffat [37]:100)
Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan do’a Ibrahim. Namun kelahiran Ismail, ternyata membuat cemburu istri pertamanya, Sarah. Ia merasa telah dikalahkan oleh Hajar, dan tidak tahan hati setiap kali melihatnya. Karena itu ia minta pada Ibrahim ‘alaihissalam supaya menjauhkan Hajar dan Ismail dari pandangan matanya dan menempatkannya di tempat lain.
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Ibrahim agar keinginan dan permintaan istri pertamanya itu dipenuhi. Maka berbekal tawakkal kepada Allah berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumahnya di Palestina, membawa Hajar dan Ismail yang dibonceng di atas untanya tanpa arah tujuan yang pasti. Ia hanya berserah diri kepada Allah, yang akan mengarahkan unta, hewan tunggangannya itu.
Setelah berminggu-minggu dalam perjalanan jauh yang melelahkan, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya di bawah pohon Dauhah di dekat Baitullah, yang sekarang dipahami tempat itu di antara sumur Zam-zam dan Ka’bah, di Makkah. Itu artinya, Nabi Ibrahim bersama istri dan bayinya, telah menaklukkan ganasnya perjalanan di gurun pasir, sejauh lebih dari 1800 km. Apabila ditempuh dengan kendaraan modern melalui darat akan menghabiskan waktu sekitar 3 hari 3 malam.
Di tanah yang gersang dan panas itulah Ismail, dengan kasih sayang ibundanya Hajar, dididik jadi anak shalih. Kelak, di tanah ini pula Ismail tumbuh jadi manusia yang berangkat dewasa dalam ketaatan pada Allah, dan dikenang sepanjang masa.
Namun Ibrahim ‘alaihissalam tidak berlama-lama membersamai keduanya di Makkah. Ia harus meninggalkan istri dan putranya, kemudian melanjutkan perjalanan dakwahnya ke Palestina, tanpa memberi bekal apa-apa pada keluarga yang ditinggalkannya. Tidak ada deposito, ATM, kartu kredit, mobil, apalagi rumah; kecuali menitipkan keluarganya hanya pada Allah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, beliau hanya meninggalkan satu kantong yang berisi kurma dan air sebagai bekal bagi Hajar dan Ismail.
Alangkah sedih dan cemasnya Hajar ketika akan ditinggalkan oleh suaminya Ibrahim. Seraya menangis, Hajar memegang erat gamis Nabi Ibrahim memohon belas kasihnya. Janganlah ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang tiada manusia maupun binatang, tiada pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan ia menanggung beban mengasuh balita yang masih menyusu.
Sambil menahan sedih Hajar bertanya pada suaminya:
يَا إِبْرَاهِيمُ ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ ؟
“Wahai Ibrahim, kemana kamu hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak ada manusia dan tidak ada sesuatu apa pun?”
Pertanyaan itu diajukan berulangkali. Sebuah pertanyaan yang menyiratkan beban mental yang begitu berat. Namun Ibrahim terus saja berlalu, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh. Remuk redam perasaannya, terjepit antara pengabdian pada Allah ataukah kecintaan pada keluarganya.
Hajar masih mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.
آللهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا ؟
“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?”
Ibrahim ‘alaihissalam, Sang Khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim ‘alaihissalam.
Ibrahim ‘alaihissalam membalik, dan berkata penuh haru: “Benar”.
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata berhikmah dari bibirnya:
إِذَنْ ، لَا يُضَيِّعُنَا
“Jika demikian, pasti Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Perhatikan wahai kaum muslimin, demi Allah, betapa indahnya untaian kalimat yang diucapkan Ummu Ismail. Kalimat yang menunjukkan optimisme, kepasrahan serta ketundukan hamba kepada keputusan Rabb-Nya. Sebagai hamba Allah, Hajar merasa yakin, bahwa menaati perintah Allah tidak akan membuat sengsara ataupun terlantar hidupnya. Di bawah perlindungan seorang ibu yang kualitas imannya paripurna seperti inilah, Ibrahim mempercayakan pengasuhan, bimbingan serta didikan bagi putranya Ismail.
Nabi Ibrahim pun meninggalkan Makkah kembali ke Palestina di mana istrinya Sarah sedang menanti. Setelah berjalan agak jauh hingga di satu daerah bernama Hudai, Ibrahim menengok ke belakang, tapi sudah tidak kelihatan lagi anak dan istrinya. Lalu Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke Baitullah, dan dengan berlinang air mata ia berdo’a:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian anak keturunanku di lembah sekitar Masjidil Haram, daerah yang tidak dapat ditumbuhi tanaman. Wahai Tuhan kami, muliakanlah mereka supaya mereka melaksanakan shalat. Dan jadikanlah hati sebagian manusia senang kepada mereka. Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan supaya mereka mau taat kepada-Mu.” (Qs. Ibrahim [14]: 37).
Sepeninggal Ibrahim ‘alaihissalam, Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan yang nasih tersisa. Hingga air yang ada pada geriba/kantong habis, dia menjadi haus, begitu juga anaknya.
Dalam keadaan lelah, Bunda Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling menangis kehausan. Ia tak tega. Maka dia mendatangi bukit Shafa, gunung yang paling dekat yang ada disana. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan oase di tengah gurun sahara.
Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki Bukit Marwah, terus bolak-balik sambil berlari sebanyak tujuh kali. Padahal jarak antara bukit Shafa dan Marwah sejauh 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali berjumlah sekitar 3,15 kilometer. Tapi tidak juga menemukan air.
Ia ingin pergi ke luar lembah, akan tetapi terngiang pesan suaminya Ibrahim: “Apa pun yang terjadi jangan pernah meninggalkan lembah ini”.
Saat kembali menemui Ismail, dilihatnya air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang masih saja menangis. Hajar takjub dan berusaha menampung air tersebut sambil berkata, “Zam-zam, zam-zam, yang artinya berkumpul-berkumpul.” Ia segera membuat kolam kecil agar air Zam-zam tak melimpah kemana-mana.
Air itulah yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan air zam-zam, yang selalu memancar deras dan tak pernah kering bahkan setelah berabad-abad lamanya.
Peristiwa pencarian air dengan mendaki Bukit Shafa dan Bukit Marwah diabadikan Allah sebagai salah satu rukun haji dan umrah, yaitu Sa’i, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Shafa dan Marwah benar-benar termasuk lambang-lambang agama Allah. Siapa saja yang berhaji ke Baitullah atau melakukan ‘umrah, maka ia tidak berdosa melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Siapa saja yang melakukan haji tamattu’, maka Allah Maha Memberi balasan yang lebih baik dan Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]:158).
Alangkah mulianya akhlak seorang istri seperti Hajar. Dia tidak protes begitu tahu suaminya melakukan sesuatu yang tampaknya “tidak berprikemanusiaan” itu. Hajar justru meyakinkan suaminya, bahwa Allah pasti akan melindungi dirinya dan putranya Ismail. Hajar tidak berinisiatif mencari pertolongan manusia, misalnya membawa Ismail untuk meninggalkan lembah dan mengabaikan wasiat suaminya? Semua itu dilakukan karena taat pada suaminya dan taqwa pada Allah subhanahu wa ta’ala.
Memenuhi Janji
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ …
Bertahun-tahun kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengijinkan Ibrahim untuk menengok istri dan anaknya di Makkah. Pada kunjungan pertamanya itu, Ibrahim menyaksikan ternyata Makkah sudah berubah menjadi perkampungan kecil, sudah ada rumah, ada penduduk, ada domba, unta, ada sumur, bahkan menjadi tempat beristirahat bagi para kafilah dagang.
Negeri Makkah yang tadinya tandus, dan tidak berpenghuni karena beratnya kehidupan di sana, kini berubah menjadi negeri yang diberkahi, dirindukan, melimpah rezeki dan buah-buahannya.
Di zaman kita sekarang, setiap tahun jutaan orang berlomba-lomba untuk menziarahinya. Segala jenis buah-buahan ada di sana. Banyak ragam buah-buahan yang tidak tumbuh di Arab Saudi, tapi kita bisa menemukan segala macam buah, dan dijual dengan harga lebih murah dari negeri asalnya.
Hal ini tentulah berkah dari Allah untuk negeri Haramain, tempat ka’bah berada sebagai pusat gratifikasi bumi. Inilah negeri yang diberkahi Allah subhanahu wa ta’ala.
Namun ujian bagi keluarga Ibrahim As kiranya belum berakhir. Setelah bertahun-tahun ditinggal sang ayah, maka tatkala beranjak remaja Ibrahim datang menemui putera semata wayangnya. Bukan hanya untuk melepas rasa rindu, tapi juga untuk menyampaikan perintah dari Allah yang mahaberat yang sulit diterima akal sehat.
Di suatu hari, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyembelih qurban fi sabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak warga masyarakat mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas qurbannya.
Ibrahim berbangga hati dan mengatakan: “Qurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku qurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim bernadzar ditagih oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Ketika putranya Ismail berusia sekitar 13 tahun, pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nadzarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah subhanahu wa ta’ala ataukah bisikan setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijjah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi persis mimpi sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya memahami/mengetahui).
Malam berikutnya, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, 10 Dzulhijjah, beliau bertekad untuk melaksanakan nadzarnya, janji seorang Nabi. Karena itulah, hari itu disebut yaumun nahr (hari penyembelihan).
Firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Tatkala anak itu sudah dewasa, Ibrahim berkata kepada anak-nya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102)
Terbayang oleh kita, seorang ayah yang sudah lansia, 99 tahun, yang sedang mencurahkan kerinduan hatinya, dan harapan pun tertumpah pada kader muda penerus risalah tauhidnya, sekaligus putera beliau yang sedang menanjak dewasa. Tiba-tiba datang perintah Allah, untuk menyembelih putera kesayangan dan satu-satunya itu. Apakah akan ditaati ataukah menentangnya?
Nabi Ibrahim mendiskusikan mimpinya tersebut dengan putranya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?”
Jawaban Ismail sungguh menakjubkan, menunjukkan militansi iman, yang hanya muncul dari anak yang shalih, didikan dari bapak dan ibu yang shalih-shalihah.
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ismail berkata: “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. In syaa Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102)
Ritual penyembelihan pun dipersiapkan. Kepada Hajar, Nabi Ibrahim berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.”
Kemudian bersama putranya, Ibrahim berangkat menuju ke suatu lembah di Mina, yang jaraknya dari Makkah sekitar 8 kilometer, dengan membawa tali dan sebilah pedang.
Pada saat itu, Iblis terkutuk sibuk merekayasa tipu daya guna menggagalkan pelaksanaan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga Nabi Ibrahim sempat ragu, apakah mmpinya itu berasal dari Allah ataukah bisikan setan. Ismail berusaha menghilangkan segala keraguan, dan mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Dari peristiwa pelemparan krikil ini, kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar jumrah dalam ibadah haji.
Sesaat sebelum disembelih, ada permohonan dari Ismail kepada ayahnya, seperti disebutkan dalam salah satu kitab, Shafwatut Tafasir karya Syeikh Ali Ash-Shabuni.
Kata Ismail: “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkanmu. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
Selain itu, “Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya, “Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.”
Setelah mendengar permohonan putranya itu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mulai menggoreskan pedangnya ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata: “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam menjalankan perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, Ibrahim mengetes ketajaman pedangnya dengan menghunjamkannya ke arah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” kata beliau.
Atas izin Allah subhanahu wa ta’ala, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Pada saat itu turun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
“Ketika Ibrahim dan Ismail telah pasrah kepada Allah dan Ibrahim pun membaringkan puteranya, maka Kami berseru kepadanya: “Wahai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpimu. Sungguh Kami akan memberi pahala kepada orang-orang yang beramal shalih. Sungguh perintah Allah kepada Ibrahim itu merupakan suatu ujian keimanan yang sangat jelas. Kami ganti Ismail dengan seekor domba yang sangat besar.” (Qs. Ash-Shaffat [37]: 104-107).
Maka pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya bertakbir, Allâhu Akbar, mengagungkan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala atas kesabaran kedua Hamba-Nya dalam menjalankan perintah-Nya. Menyaksikan seluruh rangkaian takdir Allah itu, malaikat Jibril terkagum-kagum lalu mengagungkan asma Allah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyahut, “La Ilaha illallahu wallahu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allahu Akbar wa lillahil hamd”. Warisan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil inilah kemudian kita lantunkan pada setiap hari raya qurban (Idul Adha).
Dari peristiwa sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail inilah di syariatkan bagi umat Islam untuk menyembelih hewan qurban, pada hari Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahun.
Beberapa abad kemudian, di kota Makkah inilah diantara anak keturunan Nabi Ismail, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan, pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 571 M. Do’a Ibrahim As bagi keturunannya diijabah oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Wahai Tuhan kami, utuslah ke tengah anak keturunan kami seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Rasul itu mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada mereka, serta membersihkan mereka dari perbuatan syirik. Sungguh Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana dalam mengangkat rasul-Mu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 129)
Merintis Jalan Perubahan
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ
Peristiwa bersejarah yang sudah kita ungkapkan ini memberi pelajaran berharga bagi setiap Muslim, bahwa menaati perintah Allah tidak akan membuat sengsara, tidak akan menjadikan anak-anak dan keluarga terlantar hidupnya. Anak yang shalih dan shalihah hanya dapat lahir dari keturunan dan lingkungan keluarga yang shalih juga, sekalipun selalu ada pengecualian. Laksana pepatah, “daun jatuh tidak akan jauh dari pohonnya.”
Keshalihan Ismail, ketaatannya pada Allah serta hormatnya pada Ayah dan Ibunya, tidak diperoleh dari bangku kuliah di universitas, bukan pula celupan dari adat istiadat serta budaya masyarakat lokal; melainkan karena ketaatannya pada ajaran agama Allah.
Hal ini membuktikan bahwa ajaran agama memiliki peranan penting dalam membangun masyarakat dan negara yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala. Jika manusia menjalani kehidupan dunia berdasarkan petunjuk Allah, niscaya mereka akan selamat sentosa dunia dan akhirat.
Maka Allah menurunkan syariat Islam untuk mengatur dan memandu kehidupan manusia ke arah gaya hidup mulia dan terhormat, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an:
لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Wahai manusia, Kami benar-benar telah menurunkan Al-Qur’an kepada kalian, sebuah kitab suci yang mengajarkan cara hidup mulia bagi kalian. Tidakkah kalian mau berfikir?” (Qs. Al-Anbiya [21]:10).
Kitab suci Al-Qur’an mengarahkan manusia agar senantiasa mengupdate hidupnya, siap berubah kearah yang lebih baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
Kalimat, “Innallaha la yughaiyyiru ma biqaumin hatta yughayyiru ma bianfusihim,” biasanya diterjemahkan secara harfiyah, ‘’Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.’’
Dalam Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, karya Al-Ustadz Muhammad Thalib, ayat 11 surat Ar-Ra’du di atas diterjemahkan secara maknawiyah menjadi:
“…… Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut nikmat yang diberikan kepada suatu kaum, kecuali kaum itu merusaknya sendiri dengan cara berbuat dosa. Apabila Allah menghendaki mengadzab suatu kaum, maka tidak akan ada yang dapat merintanginya, dan mereka tidak mempunyai penolong selain Dia.” (QS Ar-Ra’d (13) : 11)
Dalam ayat ini, secara tegas Allah subhanahu wa ta’ala menjamin, tidak akan mencabut nikmat dari hamba-Nya, kecuali karena ulah dzalim mereka. Ayat ini juga menginformasikan, bahwa segala macam krisis multidimensional yang menimpa bangsa-bangsa di dunia ini, bencana yang menghancurkan dan meluluh lantakkan negara dan memusnahkan peradabannya, faktor utamanya adalah faktor internal.
Bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mengubah nasib suatu bangsa dari susah menjadi bahagia, dari lemah menjadi kuat, dari tertindas menjadi bebas, dari terjajah menjadi merdeka, dari miskin menjadi makmur, dari saling bermusuhan menjadi bersaudara. Atau dari kepemimpinan yang zalim menjadi kepemimpinan yang adil, sebelum mereka sendiri mengubah pola hidup serta pola pikir mereka sesuai dengan yang diperintahkan Allah, sesuai situasi dan kondisi yang akan mereka jalani.
Dalam sejarah Para Nabi Allah, para perintis perubahan bertindak sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan dan juga penutup pintu-pintu keburukan. Tapi kini, mayoritas umat para nabi itu justru menjadi ‘makmum masbuk’ (pengekor) dari peradaban jahiliyah.
Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ، مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ، وَإِنَّ مِنَ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ، فَطُوبَى لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الْخَيْرِ عَلَى يَدَيْهِ، وَوَيْلٌ لِمَنْ جَعَلَ اللَّهُ مَفَاتِيحَ الشَّرِّ عَلَى يَدَيْهِ
“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan. Dan sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi pembuka pintu keburukan dan penutup pintu kebaikan. Berbahagialah orang-orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu kebaikan melalui tangannya. Dan celakalah orang-orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu keburukan melalui tangannya.” (HR. Ibnu Majah).
Nabi Nuh ‘alaihissalam membuka pintu kebaikan bagi manusia dengan membangun kapal besar agar orang-orang yang beriman selamat dari kejahatan musuhnya atau bahaya angin topan dan banjir bandang. Di antara orang-orang yang diselamatkan itu nantinya melahirkan keturunan para Nabi. Allah berfirman:
وَوَهَبْنَا لَهٓ اِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ كُلًّا هَدَيْنَا وَنُوْحًا هَدَيْنَا مِنْ قَبْلُ وَمِنْ ذُرِّيَّتِه دَاودَ وَسُلَيْمٰنَ وَاَيُّوْبَ وَيُوْسُفَ وَمُوْسٰى وَهٰرُوْنَ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Ya’kub kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-An’am: 84)
Nabi Ibrahim As membangun Ka’bah dan membuka pintu kebaikan bagi manusia untuk melaksanakan ibadah haji, umrah, dan berdo’a. Beliau juga menghancurkan berhala untuk menutup pintu kemusyrikan.
Nabi Musa As membuka pintu kebaikan bagi masyarakatnya dengan menyelamatkan mereka dari penindasan Fir’aun, dan menutup pintu keburukan yaitu kejahatan Fir’aun dan bala tentaranya. Nabi Yusuf membuka pintu kebaikan dengan menjadi menteri negara yang adil.
Ma’asiral Muslimin Rahimakumullah
Dalam rangka ini, mengambil hikmah serta ibrah dari pesan-pesan kenabian tersebut, kiranya relevan kita mengutip Paradigma Perubahan dari perspektif mantan Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, Dr. Anies Rasyid Baswedan. Paradigma perubahan ini merupakan koreksi konstitusional, guna menginggatkan, apakah penyelenggaraan pemerintahan negara selama ini berada pada jalur yang benar sesuai amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan?
Dalam salah satu orasi politiknya bertema ‘Meluruskan Jalan Menghadirkan Keadilan’, yang jejak digitalnya mudah ditemukan. Dalam kapasitasnya sebagai kandidat Presiden RI 2024, cucu pahlawan nasional Abdurrahman Baswedan itu menyatakan:
“Republik ini merdeka bukan hanya untuk menggulung kolonialisme, tapi untuk menggelar kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara ini tidak dirancang untuk mencari keuntungan, apalagi berbisnis dengan rakyatnya, menjadikan rakyat sebagai obyek penggalian dana, dengan berbagai tarikan Pajak serta Pungutan Liar yang memberatkan.
Republik ini berjanji, dan janji tidak bisa direvisi. Janji harus dilunasi pada setiap anak bangsa Indonesia. Apa janji Republik? Yaitu, melindungi, mensejahterakan, dan mencerdaskan rakyatnya, hingga memungkinkan setiap orang dari kita berperan dalam tataran dunia.”
Para perintis perubahan, setidaknya harus memiliki dua hal, yaitu kebenaran dan keberanian. Yang tidak gentar dengan tekanan, intimidasi yang bersifat material duniawi, karena dia memiliki kekuatan spiritual, ketergantungan pada Allah Yang Maha Kaya dan Maha Perkasa. Niat baik, dan ikhtiar yang dikerjakan bersama dengan orang-orang baik, Insya Allah akan dibukakan pintu-pintu menuju keberhasilan.
Maka mari kita sama-sama songsong kesempatan perubahan ini dengan membawa gagasan, membawa rekam jejak sekaligus membuktikan pada diri kita, pada anak-anak kita, bahwa Pemilu 2024 nanti republik ini akan menentukan arah baru yang konstitusional. Maka jangan menjadi penonton di rumah yang tak bertanggung jawab, tapi ikut berjasa menentukan arah perubahan serta perbaikan republik ini.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ
Abu Hurarirah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sekelompok orang yang sedang duduk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِكُمْ مِنْ شَرِّكُمْ؟
“Maukah aku kabarkan kepada kalian orang yang terbaik di antara yang terburuk di antara kalian?”
Mereka pun terdiam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengulangi pertanyaan tersebut sampai tiga kali. Kemudian mereka pun menjawab, “Iya, wahai Rasulullah! Kabarkanlah kepada kami siapakah orang yang terbaik di antara yang terburuk di antara kami.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda,
خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ، وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّهُ
“Manusia terbaik di antara kalian adalah yang diharapkan kebaikannya dan orang lain merasa aman dari gangguannya. Manusia terburuk di antara kalian adalah yang tidak diharapkan kebaikannya dan orang lain juga tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Tirmidzi no. 2263, Ahmad no. 8812, dan Ibnu Hibban no. 528).
Maka marilah kita semua menjadi kunci-kunci pembuka kebaikan dan penutup keburukan dengan mendukung datangnya pemimpin yang beringritas dan bertakwa kepada Alkah subhanahu wa ta’ala.
MUNAJAT
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَكْبَرُ ، وَللهِ الْحَمْدُ
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita bermunajat kepada Allah, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan pikiran. Semoga Allah berkenan menerima shalat Idul Adha, dan ibadah qurban yang kita lakukan, serta mengampuni dosa-dosa kita.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
Segala puji bagi Allah Rabbul alamin. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Pujian yang menyamai nikmat-Nya dan menandingi keutamaan-Nya. Ya Rabb kami, untuk-Mu pujian yang sebanding dengan kebesaran dan kemuliaan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
Ya Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ سَلَامَةً فِى الدِّيْنِ، وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَالْمَوْتِ، اَللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ، وَنَجَاةً مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada engkau akan keselamatan Agama dan sehat badan, dan tambahnya ilmu pengetahuan, dan keberkahan dalam rezeki dan diampuni sebelum mati, dan mendapat rahmat waktu mati dan mendapat pengampunan sesudah mati. Ya Allah, mudahkan bagi kami waktu (sekarat) menghadapi mati, dan selamatkan dari siksa neraka, dan pengampunan waktu hisab.
اللهم أَرِنَا الْحَقَ حَقاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ .
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar itu sebuah kebenaran dan berikan rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Tampakkanlah kepada kami yang batil itu sebuah kebatilan dan berikan rezeki kepada kami agar menjauhinya.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [الممتحنة]
Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan orang-orang kafir menguasai kami, sehingga kami menderita akibat tindakan buruk mereka, dan ampunilah kami. Wahai Tuhan kami, sungguh hanya Engkaulah Tuhan yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ [آل عمران]
Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami karunia yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Janganlah Engkau jadikan kami hina pada hari kiamat kelak. Sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji-Mu.
رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ
Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku serta orang-orang mukmin pada hari perhitungan amal di akhirat.” (QS Ibrahim (14) : 41)
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [البقرة]
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, dan kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ . وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ . وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam. []